Ahli Ungkap Dugaan Rekayasa Transaksi Kasus Emas Budi Said: Kerugian Negara dan Persekongkolan
Ahli forensik digital Dimas Perdana memaparkan hasil analisis yang mengungkap komunikasi mencurigakan antara terdakwa dan pihak terkait.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sidang kasus dugaan korupsi dalam transaksi jual beli emas dengan terdakwa Budi Said kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2024).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga saksi ahli dalam persidangan untuk memperkuat dakwaan, yakni ahli forensik digital Dimas Perdana, serta dua ahli pidana, Prof. Dr. Suparji Ahmad dan Fitriati.
Baca juga: Sidang Lanjutan Kasus Emas Antam, Ahli dari BPK Beberkan Kerugian Negara yang Disebabkan Budi Said
Keterangan para ahli tersebut menguatkan dugaan rekayasa transaksi oleh terdakwa, termasuk adanya komunikasi terencana, perbuatan melawan hukum, kerugian negara, hingga keterlibatan terdakwa dalam jaringan tindak pidana.
Ahli forensik digital Dimas Perdana memaparkan hasil analisis yang mengungkap komunikasi mencurigakan antara terdakwa dan pihak terkait.
“Budi Said diketahui membuat grup WhatsApp pada 12 April 2018 bersama Lim Meilina dan Eksi Anggraeni. Isi percakapan dalam grup tersebut membahas informasi emas dan transaksi jual beli emas,” ujar Dimas dalam persidangan.
Temuan ini menunjukkan adanya koordinasi terencana yang menjadi salah satu kunci dalam pola transaksi yang sedang disidangkan.
Grup WhatsApp ini diduga digunakan untuk menyusun strategi terkait jual beli emas di luar prosedur resmi.
Baca juga: PT Antam Merugi Hingga Rp 1 Triliun Gara-gara Gugatan Emas 1,1 Ton Budi Said
Sementara itu, Ahli pidana, Prof. Dr. Suparji Ahmad menjelaskan sejumlah unsur yang memenuhi tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
Salah satu tindakan krusial adalah pembelian emas dengan harga di bawah harga resmi dan penerimaan emas melebihi faktur resmi.
“Tindakan ini melanggar prosedur, memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi,” kata Prof. Suparji.
Dirinya juga memaparkan adanya perbuatan melawan hukum berupa pemberian fee sebesar Rp92 miliar, hadiah mobil, rumah, serta perjalanan umroh kepada pihak tertentu.
Prof. Suparji juga menegaskan bahwa klaim terdakwa sebagai korban tidak dapat menghapus tanggung jawab pidana.
“Jika unsur-unsur tindak pidana terbukti, klaim tersebut tidak relevan untuk menghindari hukuman,” jelasnya.
Sementara itu, ahli pidana Fitriati, S.H., M.H., memberikan keterangan terkait keterlibatan aktif terdakwa dalam jaringan tindak pidana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.