Arsitek Indonesia Didorong Hadirkan Rancangan Rumah Berbasis Net Zero
Saat ini pembangunan kota-kota dunia mengarah pada upaya menunjukkan kecerdasan dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Mereka adalah desain The Green Passage merupakan karya Arsitek Tobias Kea Suksmalana, Jaro Ngaso (Arsitek Prayoga Arya), Mahawa-The Breathing House, Indonesia (karya Arsitek Sahlan), Tropicool Roof, Indonesia (Arsitek Dwi Nurul Ilmih) dan Padi Dhara karya Arsitek Partogi.
Meraih juara pertama OGRA 2023 ASIA, Tobias memanfaatkan momen renovasi sebuah rumah di Kampung Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, sebagai studi desainnya.
Arsitektur tradisional menjadi prinsip dasar rancangan desain yang mengedepankan passive design dan zero energy sebagai tema besar kompetisi.
“Titik awal desain saya adalah menyeimbangkan tanggung jawab terhadap lingkungan dan melihat keseluruhan sistem yang saling terkait, baik orientasi, bentuk, dan pemilihan bahan bangunan yang disesuaikan dengan iklim mikro di Indonesia.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk berkreasi dengan desain pasif. Salah satunya, memanfaatkan potensi energi angin dari koridor jalanan kampung yang masuk ke dalam rumah melalui jendela dan atap,” papar Sarjana Arsitektur jebolan Universitas Gajah Mada ini.
Tobias mengombinasikan massa bangunan dan detail arsitektur secara seksama untuk memastikan adanya ventilasi silang di dalam rumah.
Sentuhan material kayu bekas pada struktur tiang dan atap rumah tak hanya melugaskan kesan rumah adat masa lampau, namun juga menghadirkan sirkulasi udara yang baik dan menciptakan privasi penghuni.
Dengan menggunakan material kayu bekas tersebut kita dapat menghemat sekitar 50-70% biaya material kayu.
Genteng tanah liat bekas juga bisa dikreasikan sebagai finishing lantai. Selain dari aspek biaya, penggunaan material ini juga merupakan upaya pengurangan emisi karbon,” jelasnya.