Buruknya Pengelolaan Migas di Indonesia Karena Pemerintah Tidak Becus
Sejumlah periset, lembaga pengkaji minyak dan gas (Migas) menggelar forum diskusi di Waroeng Kopi
Editor: Widiyabuana Slay
Laporan Wartawan Tribun Timur, Ilham
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Sejumlah periset, lembaga pengkaji minyak dan gas (Migas) menggelar forum diskusi di Waroeng Kopi (Warkop) Aleta, Jl Toddopuli, Makassar, Minggu (18/8/2013).
Hadir narasumber, yakni, Ketua Presidium Centre of Excelent Gas and Oil East of Indonesia atau pusat Keunggulan Riset Migas Indonesia Timur Prof Dr Muhammad Asdar, Ketua front perjuangan kedaulatan Energi Indonesia (Forkei) Celebes, Hasan Basri Baso, dan Ketua Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Indonesia Ugan Gandar
Sejumlah akademisi, aktivis kampus dan tokoh masyarakat kota Makassar juga hadir. Pengunjung warkop Aleta lainnya juga bergabung.
Prof Asdar yang juga pengamat Migas Fakultas Ekonomi Unhas, mengatakan, sebanyak 85 persen pengelolaan sumber minyak dan gas (Migas) di Indonesia masih dikelola asing. Celakanya, jumlah tersebut belum memberikan keuntungan bagi negara lantaran kebijakan pemerintah yang tidak becus.
Parahnya lagi, lanjut Prof Asdar, kuasa perusahaan asing telah memberikan dampak buruk atau kerusakan di semua daerah atau provinsi di Indonesia termasuk di Sulsel.
"Jumlah kekayaan Indonesia sangat berlimpah dibandingkan negara lain. Tapi jumlah rakyat miskinnya juga cukup banyak. Bahkan mencapai 120 juta jiwa. Ini karena kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam bidang energi tak berpihak pada rakyat. Tapi pada pemodal. Migas kita dikuasai asing," katanya.
Prof Asdar, memaparkan, Indonesia hanya mengelola 15 persen Sumber Daya Alam (SDA) migas melalui PT Pertamina. Selebihnya dikelola oleh asing.
"Bahkan, sumber gas di kawasan timur indonesia, dari Papua, Maluku hingga Sulsel dengan energi gasnya di Kabupaten Wajo, semua dikelola oleh asing," ungkapnya.
Lebih lanjut menurut Prof Asdar, Indonesia Timur adalah penghasil gas paling besar di Indonesia, tapi semuanya masih di kuasai oleh asing.
Dari hasil pengelolaan migas yang ada ngara hanya mendapatkan 30 persennya. Sedangkan 70 persennya diambil oleh asing.
"Semua pengelolaan minyak dan gas saat ini masih dimainkan perusahaan asing. Sejumlah perusahaan asing beroperasi di Indonesia seperti Shell berasal dari Inggris, Petronas dari Malaysia, dan masih banyak lagi. Semua tak memberikan sumbangsih apapun bagi negara, khusus Sulsel," ujarnya.
Hasan Basri Baso, mengatakan, melalui momentum hari proklamasi pihaknya mengajak dan menyerukan kepada semua lapisan masyarakat memperjuangkan kemerdekaan yang sebenarnya, termasuk tanpa intervensi asing.
"Kami juga mendukung langkah KPK untuk mengusut tuntas kasus kepala SKK Migas sampai ke akar-akarnya, dan meminta mentri ESDM, yakni Jerok Wacik bertanggungjawab serta membubarkan SKK migas," katanya.
Ugan Gandar, mengatakan, jumlah kekayaan alam Indonesia sangat besar. Khususnya di kawasan timur Indonesia, tapi masyarakatnya belum menikmatinya.
"Memang benar bahwa masyarakat timur kehidupannya bukan dunia migas, tapi lebih cenderung hidup dalam dunia budaya petani, pelaut dan lain-lain. Namun mengingat ke depan negeri ini tidak bisa lagi bergantung kepada minyak tapi pada gas yang cadangannya sangat besar di wilayah timur yaitu di Kaltim, Dongi Senoro Sulteng, Tangguh di Papua, maka rakyat Indonesia di wilayah timur harus memiliki kepedulian yang lebih. Sebab pembangunan Center of Excelent Migas KTI sudah menjadi sebuah keniscayaan harus dibentuk di Makassar," jelas Ugan.