Hasil Tambang Tembus Rp 400 Triliun, Rakyat Tetap Miskin
ondisi masyarakat di lokasi yang kaya akan bahan tambang itu ibarat pepatah, “Ayam mati di lumbung padi”.
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Meski Indonesia kaya raya bahan tambang, tapi masyarakatnya masih tetap miskin dan tidak sejahtera.
Fakta dan kondisi merupakan sebuah ironi dan mengkhianati amanat UU 1945 pasal 33 ayat (3), bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Demikian ditegaskan Dr Suparto Wijoyo, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), dalam fokus group discussion (FGD) yang digelar di Fakultas Hukum kampus setempat, Rabu (11/6/2014).
Menurut Suparto, kondisi masyarakat di lokasi yang kaya akan bahan tambang itu ibarat pepatah, “Ayam mati di lumbung padi”.
Padahal kekayaan tambang yang dikeruk oleh sejumlah perusahaan multinasional itu menyebabkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan di banyak tempat.
“Ingat kasus yang pernah melanda Teluk Buyak, Minahasa dan pencemaran di Celah Timor,” katanya.
Untuk menghentikan ironi tersebut, akademisi asal Lamongan ini mendorong dilakukan pengawasan secara ketat terhadap pertambangan di Indonesia.
“Selain itu, pembagian hasil tambang juga harus dilakukan dengan proporsi yang berkeadilan sosial,” tegas Suparto.
Direktur PUPUK M Farid Fauzi menjelaskan, pemasukan negara dari sektor migas mencapai Rp 400 triliun.
Dari jumlah itu, daerah penghasil tambang hanya mandapat dana bagi hasil 6 persen.
Sementara 6 persen lainnya diperuntukkan bagi kabupaten/kota dalam satu provinsi tempat lokasi tambang berada.
“Itu berarti ada sekitar dana Rp 50 triliun yang dikelola oleh Pemda. Tapi mengapa dana yang besar itu terasa tidak bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal,” terangnya.
Kata Farid, keberadaan tambang yang tidak menjadikan masyarakat lokal sejahtera itulah yang memicu munculnya isu separatisme di beberapa tempat, khususnya di wilayah perbatasan yang kaya akan bahan tambang.
“Padahal diluar masalah kesenjangan kesejahteraan, persoalan perusahaan tambang di Indonesia sungguh rumit dan banyak. Mulai kerusakan lingkungan, birokrasi yang berbelit, tumpang tindih izin, hingga masalah keamanan,” tandasnya.
Selain Suparto dan Farid, narasumber dan pembedah yang dihadirkan dalam FGD adalah, Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan, Citra Hennida Dosen Ilmu Hubungan Internasional Unair, dan sejumlah pakar hukum lain dari berbagai disiplin ilmu.