Pelopor Sekolah Gratis Ini Terbelit Masalah Izin
“Mereka juga kaget dan sedih. Tapi saya bilang ke mereka, sekolah ini tidak akan ditutup,” kata Anies, Rabu (25/6).
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Sebelum pemerintah membagikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memastikan anak miskin tetap bisa sekolah, SD Ahmad Yani di Surabaya sudah melakukannya.
Di masa jayanya, sekolah itu pernah menggratiskan pendidikan bagi siswanya.
Sekolah di Jalan Gubeng Airlangga ini masuk daftar tutup di Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya.
Izin operasionalnya yang mati menjadi penyebabnya. Izin operasional sekolah dengan sejarah panjang ini mati sejak Januari 2012.
Pengurus sudah berusaha memperpanjang izin itu, tetapi kalah cepat dengan datangnya kebijakan Dindik Surabaya, melarang sekolah itu menerima siswa baru tahun ajaran 2014/2014 ini.
Anies Soeparlin, Kepala SD Ahmad Yan mengaku terguncang ketika pertama kali membaca surat dari Dindik itu, awal Juni lalu.
Surat itu sama artinya mengakhiri riwayat sekolah rakyat yang telah berdiri pada 1970-an itu.
Disebut sekolah rakyat karena sekolah ini merupakan hasil swadaya masyarakat sekitar.
Sejumlah alumni bergantian menemui Anies di sekolah. Mereka ingin memastikan kebenaran informasi penutupan, yang dilansir banyak media.
“Mereka juga kaget dan sedih. Tapi saya bilang ke mereka, sekolah ini tidak akan ditutup,” kata Anies, Rabu (25/6).
Anies lalu membuktikan ucapannya itu dengan tetap membuka pendaftaran siswa baru tahun ajaran 2014/2015. Delapan siswa sudah mendaftar hingga dua hari lalu.
Anies mengaku agak terlambat mengumumkan penerimaan siswa baru, ia baru saja mendapat toleransi waktu enam bulan dari Dindik untuk tuntaskan perizinan.
Perempuan berjilbab ini tak rela sekolahnya ditutup. Ia merasa wajib melanjutkan perjuangan para pendahulunya.
Juga pada warga sekitar yang ikut jungkir balik mendirikan dan membiayai kelangsungan sekolah itu di masa lampau.
Diceritakan Anies, SD Ahmad Yani didirikan tahun 1970-an oleh Yayasan Islam Al-Hidayat di atas tanah wakaf dari warga.
Di masa dulu, ini sekolah kebanggaan warga sekitar. Bukan cuma karena prestasinya, tetapi juga karena menjadi penopang kaum miskin.
Anak-anak keluarga miskin di sekitar Gubeng bisa sekolah gratis di sini.
“Jadi jauh sebelum ada BOS, kami juga pernah menggratiskan pendidikan bagi anak-anak. Waktu itu ada guru besar Universitas Airlangga sebagai donaturnya. Sekarang guru besar itu sudah almarhum,” kenangnya.
Guru Besar yang dimaksud Anies adalah alm Sunarko Setyawan, guru besar ilmu faal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Profesor kelahiran 17 Februari 1960 itu meninggal dunia 15 Desember 2009.
“Selain almarhum, sejumlah warga sekitar sini juga turut menjadi donatur,” imbuh dia.
Pada 1983, sekolah itu mengantongi NSS (Nomor Statistik Sekolah) dan NSB (Nomor Statistik Bangunan). Mereka pun telah mengantongi akta pendirian serta izin operasional.
Namun pada Januari 2012, masa berlaku izin operasional sekolah itu habis.
Pengurus sekolah pun berinisiatif memperpanjang izin pada 2013. Namun upaya tersebut terganjal jumlah siswanya yang cuma 54 orang.
Jumlah itu belum memenuhi kuota minimal sebanyak 60 orang (10 orang per kelas).
“Kami ngebut mencari siswa lagi dan akhirnya dapat, sehingga menjadi 61 orang,” ucap dia.
Setelah soal jumlah siswa beres, sekolah kembali mengajukan perpanjangan izin operasional. Gagal lagi. Kini yang tidak ada adalah dokumen IMB dan legalitas yayasan.
Saat pengurusan dokumen-dokumen itu belum tuntas, pada 24 April 2014 Anies mendapat surat dari Dindik.
Isinya, perintah penghentian penerimaan murid baru dan merger.
“Lalu tanggal 13 Juni lalu, kami semua, sekolah-sekolah yang terancam ditutup, dipanggil oleh Dinas Pendidikan. Kami diberi waktu enam bulan saja (untuk menyelesaikan izin operasional),” kata Anies.
Anies menganggap enam bulan tak cukup untuk mengurus IMB dan dokumen legalitas yayasan.
Menurut Anies, saat akan memperpanjang izin operasional, pihaknya memang pernah ditanya soal status gedung yang merupakan bangunan wakaf.
Setelah berusaha mencari dokumen IMB, akhirnya mereka menemukan dokumen tersebut. Namun urusannya tak lantas tuntas karena dokumen tersebut masih harus dilegalisasi.
Sementara dokumen legalitas yayasan, harus diperbarui karena ada perubahan dari Yayasan Pendidikan Islam Al-Hidayat menjadi Yayasan Pendidikan dan Sosial Al-Hidayat.
Perbaruan legalitas harus dilakukan di Kementerian Hukum dan HAM atau Kemenkumham.
“Untuk pengurusan legalitas yayasan, kabarnya sudah tinggal menunggu SK saja. Tetapi kalau untuk IMB, saya kira waktu enam bulan tidak akan cukup. Itu juga yang dipertanyakan sekolah-sekolah lainnya,” pungkasnya. (ben)