Pasutri Kusoin dan Zubaidah, Saksi Sejarah Pembangunan Mapolresta Barelang
Dulu hanya ada beberapa bangunan saja yang berdiri di Polresta Barelang dan terbuat dari kayu dan hingga berubah menjadi beton permanen
Penulis: Eko Setiawan
Editor: Eko Sutriyanto
Beberapa lantai kayu rumah Kusoin terlihat lapuk, namun tetap bersih. Kayu-kayu tak beraturan itu dipasang sebagai lantai dan dinding, walaupun tidak beraturan, namun cukup kuat untuk dijadikan pijakan.
Walau banyak perubahan disekitar lingkungan tempat tinggalnya, namun nasib pasangan renta ini tidak pernah berubah, mereka masih tinggal disamping Gudang Barang Bukti.
"Bude kan orangnya suka bersih-bersih. Makanya rumah kita bersih, walaupun jelek yang penting bersih," sebut Zubaidah sambil tersenyum.
Tahun berganti tahun, pucuk pimpinan di Mapolresta Barelang terus berganti.
Selama mereka tinggal disana, mereka tidak pernah tahu siapa nama pucuk pimpinan yang menjabat.
Padahal, sudah beberapa kali pertukaran pimpinan di Polresta Barelang dilakukan untuk keperluan organisasi.
"Kita ini orang rendahan, gak mungkin kenal sama mereka yang orang besar. Bude malu tau," sebutnya polos.
"Bude gak pernah tahu siapa nama pimpinan disini. Siapa kepalanya, memang sudah banyak pertukaran disini. Bude dan pakde gak pernah urus. Karena segan, kami sadar kami hanya orang biasa saja," sebutnya.
Perantau asal Jawa Barat ini juga baru tahu dari Tribun Batam kalau Kapolres sebelumnya yakni Kombes Pol Asep Safrudin berasal dari Jawa Barat.
Orang jauh terasa dekat, orang dekat terasa jauh setidaknya itulah perkataan yang tepat untuk digambarkan kepada kedua pasangan renta ini.
"Oh jadi pernah ada orang sunda teh yang jadi pak kapolres disini, itu berarti orang kampung saya," tanyanya dengan polos saat ditemui Tribun di kediamannya, Kamis (11/8/2016) siang.
Karena kesibukanya membanting tulang, mereka tidak tau apapun yang terjadi dilingkunganya, tidak mengerti apa artinya pangkat dan jabatan bahkan kedua pasangan ini mengaku buta huruf.
Bahkan untuk membuat merk laundry di rumahnya, ia meminta salah seorang Anggota Sabara menuliskanya.
"Bude gak bisa tulis, sekolah aja sampai kelas dua SD. Ini yang nulis anak sabara karena dia yang nyucikan bajunya bude. Bude diupah Rp 150 ribu setiap bulan. Dia bikin mereknya Londri Kembali lagi, tapi cuma tiga orang saja yang nyuci baju disini," sebutnya.