Nasib Warsidi, Pedagang Potong Ayam di Semarang yang Ngaku Intel Mabes Polri
ria yang berprofesi sebagai pedagang ayam potong itu mengaku sebagai anggota Polri bagian intelijen yang bertugas di Mabes Polri.
Editor: Sugiyarto
Oleh temannya itu, dikatakan kalau hal pembebasan tahanan tidak bisa dilakukan.
"Dia meminta uang lagi Rp 2,5 juta dengan ditransfer. Karena sudah curiga, kami meminta dia untuk datang ke rumah mengambil uangnya," kata Suyatni dan diamini Jujuk.
Warsidi kemudian mendatangi rumah Beni untuk mengambil uang tersebut. Namun, Suyatni dan Jujuk mengaku tidak ada uang sebanyak itu sehingga Warsidi pulang dengan tangan kosong. Saat pulang itulah, Warsidi ditangkap Jujuk dan diserahkan ke polisi.
Saat ditanya majelis hakim darimana Suyatni mengetahui Warsidi bisa membantu membebaskan tahanan, dijawabnya dari tetangga.
"Awalnya, saya lihat Warsidi ngobrol sama tetangga soal pembebasan tahanan. Dari situ, saya minta nomor handphone dia," tuturnya.
Sementara itu, saat Warsidi ditanya oleh majelis hakim, ia mengaku hanya bekerja sebagai penjual ayam potong. Dia juga mengatakan kalau atribut kepolisian yang dimilikinya dibeli di daerah Kauman, Semarang.
"Kalau soal Waka Polda itu, sebenarnya hanya teman saya pak, sesama penjual ayam potong," jawab Warsidi.
Kejadian ini terjadi pada 25 Agustus 2016 di rumah Beni. Warsidi yang mengaku sebagai anggota Mabes Polri menyatakan sanggup membebaskan saudara Beni di Wonosobo dengan bantuan temannya yang mengaku sebagai Waka Polda Jateng bernama Nur Hadi.
Dari aksinya, Warsidi menerima uang Rp 7,9 juta. Ia beralasan, uang tersebut diberikan kepada Nur Hadi untuk membebaskan saudara Beni yang terkena kasus narkoba.
Atas perbuatannya, jaksa Yossi mendakwa Warsidi dengan pasal 378 dan 372 KUHP lantaran menilep uang milik Beni Utomo, warga Lempongsari, Semarang, sebesar Rp 7,9 juta.
Warsidi diancam dengan pidana paling lama empat tahun. Saat ini kasusnya masih dalam proses persidangan. Atribut kepolisian, pistol mainan, dan lencana palsu, dijadikan sebagai barang bukti oleh jaksa. (*)