Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Wanita Veteran Perang Jadi Mata-mata di Usia 15 Tahun

Siti Fatimah (85) masih bisa mengenang ketika menjadi mata-mata di usia 15 tahun. Selama itu orangtuanya ikhlas jika Siti mati di medan perang.

Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Y Gustaman
zoom-in Kisah Wanita Veteran Perang Jadi Mata-mata di Usia 15 Tahun
Tribun Jabar/Teuku Muh Guci S
Siti Fatimah (85), veteran yang pernah menjadi mata-mata dan membantu pejuang Indonesia usai merayakan Hari Jadi ke-60 Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Selasa (10/1/2017). TRIBUN JABAR/TEUKU MUH GUCI S 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Siti Fatimah (85) asal Kuningan, Jawa Barat, satu dari sekian wanita yang tercatat sebagai veterang perang melawan penjajah.

Meski sudah sepuh ia hadir dalam perayaan Hari Jadi ke-60 Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)
ke-60 di Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Selasa (10/1/2017).

Wanita yang tinggal di Jalan Rakatan Nomor 79 RT 1/1, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, masih tampak sehat dari caranya berjalan.

Tak hanya sehat, Siti masih mengingat bagaimana ketika berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia dari rongrongan Belanda.

Wanita dengan 10 anak itu pernah berjuang mempertahankan kemerdekaan di Kabupaten Kuningan, bukan sebagai tenaga medis yang ikut ke medan perang.

Anak pasangan almarhum Ahmad Bagja dengan Uni Mulyani itu pernah bertugas sebagai mata-mata tentara gerilya pada 1947 di perbatasan Kabupaten Kuningan, tepatnya di Kecamatan Ciwaru.

BERITA REKOMENDASI

“Waktu itu saya usianya masih 15 tahun,” kata Siti ketika berbincang dengan Tribun Jabar.

Gadis asal Kampung Ciwaru, Desa Lebakherang, Kecamatan Ciwaru, itu memiliki tugas yang berat selama menjadi mata-mata.

Tanpa latihan atau persiapan, ia memiliki tugas penting untuk mempertahankan kemerdekaan. “Jadi waktu itu langsung praktik aja, tidak pakai latihan segala,” kata Siti.

Selain harus memantau kekuatan tentara Belanda, Siti juga bertugas sebagai pembawa pesan dari tentara gerilya ke pejuang yang ada di pusat pemerintahan Kabupaten Kuningan waktu itu.

“Kalau ada tugas, saya harus pulang dan pergi Kecamatan Ciwaru ke pusat kota. Kadang-kadang saya juga harus bawa bekal atau alat-alat medis,” kata Siti.


Tugasnya tersebut memang penuh risiko. Beberapa pejuang yang juga bertugas sebagai mata-mata harus berhadapan dengan maut ketika ditangkap tentara Belanda.

Ia mengingat betul dua rekannya yang sesama pejuang kemerdekaan, yaitu Hudaya dan Jumat, tewas diberodong senjata otomatis penjajah.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas