'Kami tidak Bisa Melihat tapi Bisa Membaca Alquran'
Ketiadaan penglihatan tidak menyurutkan para tunanetra ini untuk melantunkan Kitabullah dengan merdu.
Editor: Dewi Agustina
"Kalau sekarang ini antara 55 sampai 60 orang," kata Syaiful.
Tidak ada kesulitan berarti bagi jemaah dalam melafazkan ayat demi ayat yang ditransfer melalui jari tangannya.
Jari pada tangan kanan terlihat lincah meresapi tulisan pada lembaran Alquran, sedangkan jari tangan kiri fokus merasakan setiap baris yang dibaca.
Tiga instruktur yang disediakan Pertuni pun tidak dibuat kesulitan.
Sesekali bacaan yang keliru justru diluruskan oleh jemaah lain.
Instruktur lebih bertindak sebagai mentor untuk menjelaskan makna dari surat yang dibacakan jemaah.
"Kalau bicara kesulitan, ya hanya pada soal dana,” kata Syaiful berterus terang.
Bendahara DPD Pertuni Sumut Edi Syahputra menimpali selama ini mereka hanya mampu memberi honor kepada masing-masing instruktur Rp 75.000 per pekan atau Rp 300.000 bila instruktur tersebut mengajar sebulan penuh.
Disadarinya nilai itu sangat tidak layak karena ilmu Alquran sangat penting bagi manusia.
"Hudallinnas. Kita mengajarkan tentang petunjuk hidup bagi manusia," kata dia.
Keterbatasan dana ini juga menyebabkan mereka hanya mampu mensubisidi transportasi peserta pengajian Rp 20.000. Padahal, ongkos yang dikeluarkan peserta berkisar Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
Selama ini DPD Pertuni Sumut beroperasi dengan mengandalkan donasi perorangan. Sementara dari pemerintah sama sekali tak ada.
Meski begitu, kondisi yang serba terbatas ini tidak membuat pengajian terhenti.
Ayat demi ayat terus dibaca dengan jelas oleh mata-mata yang buta, tapi mereka melihat dan membaca dengan mata hati. (rahmad wiguna)