Jadi Pemimpin itu Harus Banyak Mendengar kata Moeldoko
Negara maju memiliki ciri-ciri diisi oleh orang-orang yang memiliki need of achievement, kebutuhan akan prestasi yang sangat kuat.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Negara maju memiliki ciri-ciri diisi oleh orang-orang yang memiliki need of achievement, kebutuhan akan prestasi yang sangat kuat.
Bukan need of affiliation, berdasar kolusi dan nepotisme. Mereka yang ada di negara maju memiliki standar keunggulan dalam bekerja, menyukai tantangan, mengambil tanggung jawab pribadi, disiplin dan berani ambil risiko.
Penegasan itu disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat berbagi ilmu seni kepemimpinan di hadapan 278 Perwira Siswa (Pasis) Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jumat, 23 Maret 2018 lalu.
Moeldoko menguraikan ada lima hal mengapa seseorang mau mengikuti orang lain. Pertama karena otoritas/ kekuasaan. Dasarnya perintah.
“Misalnya, seorang Jenderal pada level kepangkatan di bawah,” katanya.
Hal kedua seseorang mau mengikuti orang lain karena rasa takut. Biasanya ini oleh mafia. Yang ketiga karena ada kharisma, misalnya dimiliki oleh para pemimpin agama.
Hal keempat seseorang mau mengikuti orang lain, karena memiliki hal atau aspirasi yang sama. Ini terjadi pada partai politik.
Namun, hal kelima mengapa seseorang mau ikut atau dipimpin orang lain, adalah karena kagum dan percaya kepada sang pemimpin. “Inilah tingkatan tertinggi seseorang jadi pemimpin,” kata Panglima TNI 2013-2015 itu.
Moeldoko menegaskan, seorang pemimpin harus memberikan kebajikan kepada bawahan. Sehingga akhirnya, bawahannya akan berkata,
"Tidak ada hal yang bisa saya berikan kepada Anda, kecuali kesetiaan,” kata pria yang pernah menjabat Panglima Kodam Tanjungpura dan Siliwangi ini.
Dipaparkannya, kepemimpinan setidaknya memiliki aspek. Aspek pertama terkait hal-hal fisik, seperti visual aspect, audio aspect dan smell aspect, terkait hal-hal fisik yang akan mempengaruhi persepsi orang lain tentang kemampuan leadership seseorang.
“Meski di bagian permukaan, aspek ini tak boleh diabaikan. Kalau kita tak rapi, orang akan dengan mudah mengartikan siapa diri kita. Aspek fisik jadi ukuran awal orang lain menilai kita,” jelas mantan Wakil Gubernur Lemhanas itu.
Selanjutnya, aspek intelektual, mencakup logical thinking, creative thinking, dan practical thinking.
“Aspek ini lebih dari sekadar masalah nilai IQ, karena terkait kemampuan seseorang dalam mengelola cara berpikir sehingga mampu memberi pengaruh efektif kepada orang lain,” kata periah gelar doktor Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia yang lulus dengan predikat sangat memuaskan.