Hari Gizi Nasional, Momentum Tuntaskan Masalah Gizi Buruk
Masalah gizi buruk semakin jarang didengar seiring semakin membaiknya program kesehatan masyarakat dari pemerintah maupun swasta
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Hari Gizi Nasional ke-59 yang jatuh pada 25 Januari menjadi momentum yang tepat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk kembali melakukan evaluasi tentang masalah gizi buruk yang dialami oleh balita dan anak-anak.
Masalah gizi buruk semakin jarang didengar seiring semakin membaiknya program kesehatan masyarakat dari pemerintah maupun swasta.
Ketua Persatuan Wanita Muslimat NU Jawa Timur, Masruroh Wahid menyatakan hal itu saat dimintai pendapatnya terkait Hari Gizi Nasional.
Menurut dia, di keluarga muslimat NU Jawa Timur, tidak ada anak atau balita yang mengalami gizi buruk.
Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki progam pemberdayaan dan edukasi terkait masalah kesehatan dan perbaikan gizi keluarga.
Salah satu programnya adalah sosialisasi tentang susu kental manis bukan pengganti susu bagi anak atau balita. Untuk mencegah kurang gizi dan buruk gizi, sebaiknya bayi diberikan Air Susu Ibu, nutrisi paling lengkap untuk bayi. Selanjutnya ibu harus memberikan asupan gizi yang cukup anak-anak yang sedang tumbuh kembang.
Baca: Kondisi Agats Kembali Menggeliat Pasca KLB Gizi Buruk dan Campak
“Tindakan preventif pasti lebih baik, dan edukasi yang positif membuat para ibu lebih teredukasi soal nutrisi dan asupan gizi,” ucap Masruroh.
Ketua PKK Surabaya, Nuriya Sigit menambahkan, jika tidak ditemukan lagi gizi buruk yang ada adalah kondisi kesehatan dibawah garis merah.
Pada SKM (Kartu Menuju Sehat), dibawah garis merah merupakan kondisi kurang sehat atau memiliki masalah kesehatan.
“Kondisi ini ada hampir di semua kecamatan di Surabaya. Penyebabnya antara lain, penyakit penyerta misalnya jantung dan bibir sumbing, pola asuh yang salah, kondisi ekonomi,” kata Nuriya.
Menurut dia,tidak menutup kemungkinan masih ada ditemukannya kasus-kasus gizi buruk yang menimpa anak-anak.
Bisa jadi karena kondisi ekonomi yang tidak baik, pola asuh yang salah dan kurangnya pengetahuan tentang nutria bergizi, serta “gagal paham” terkait iklan SKM yang mereka anggap sebagai susu sehingga mereka memberikannya kepada bayinya.
Gizi buruk adalah kondisi tubuh terparah yang mengalami kekurangan gizi dalam kurun waktu yang lama (menahun). Penyebabnya, antara lain kurangnya asupan makanan bergizi seimbang, adanya penyakit-penyakit penyerta karena ketahanan tubuh berkurang akibat kurang gizi.
Ciri-ciri anak gizi buruk antara lain, tubuhnya kurus, tinggi badan tidak sesuai dengan tinggi anak seusianya, dan tumbuh kembangnya lambat.
“Edukasi yang baik kepada ibu dan keluarga, diharapkan pola asuh, pemberian nutrisi tidak keliru lagi. Jangan ada lagi SKM diberika kepada bayi,” ujarnya.
Ketua Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI Dede Yusuf menyatakan, pihaknya sudah meminta BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk menegur produsen agar dalam iklannya tidak boleh memvisualisasikan balita atau anak-anak serta tidak membuat adegan membuat susu.
“Karena spesifiknya SKM adalah tambahan rasa untuk makanan atau minuman. Masyarakat sudah diinformasikan terkait hal tersebut karena kami juga ikut melakukan sosialisasi tersebut. Jadi jika masih ada yang menjual produk ini untuk pengganti susu bayi atau susu anak atau ada iklan yang seperti itu, harap segera melaporkan ke BPOM dan komisi IX DPR RI,” kata Dede Yusuf .