3.865 Pasangan Nikah Dini di Jateng, Penyebabnya Banyak 'Kecelakaan'
UU No 16 Tahun 2019 telah disahkan sebagai perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG -- UU No 16 Tahun 2019 telah disahkan sebagai perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dulu batas usia minimal untuk menikah laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun. Berdasar UU yang baru itu, batas usia minimal laki-laki dan perempuan sama yaitu 19 tahun.
Di Jateng terjadi 300 ribu pernikahan tiap tahun, dan 72 ribu perceraian (talak dan gugat).
Berdasar data catatan di Kemenag Provinsi Jateng, tahun 2018 terjadi pernikahan bawah umur sebanyak 3.275 dan bertambah lagi di tahun 2019 ini menjadi 3.865 pasangan.
Berdasar UU terbaru, pernikahan bawah umur harus minta dispensasi ke Pengadilan Agama disertai pendukung cukup.
Data hingga November 2019 menunjukkan sebanyak 108 pasangan mendapatkan surat dispensasi menikah dari Pengadilan Agama Semarang. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 yang hanya 91 pasangan.
Baca: Saudi Bangun 60 Ribu Toilet Bertingkat di Mina, Ini 6 Usulan Indonesia untuk Perbaiki Layanan Haji
Baca: DPR Sesalkan Majelis Taklim Harus Daftar ke Kemenag
Baca: Jalan Tengah Untuk FPI
Baca: Ketua PTSP Kemenag dan Wamenag: Tak Hanya Makanan, Barang juga Perlu Sertifikasi Halal
November ini terjadi lonjakan yang cukup signifikan yakni 30 pasangan mengajukan surat dispensasi.
Panitera Muda Pengadilan Agama Semarang, Tazkiyaturrobihah, menjelaskan hampir 90 persen pasangan yang mengajukan dispensasi menikah yang sudah terlanjur hamil di luar nikah.
"Hampir semua hamil di luar nikah. Hanya satu dua saja yang tidak. Tapi saya pernah punya pengalaman ada pasangan yang harus mengajukan surat dispensasi nikah karena digerebek warga dan aparat," tuturnya.
Tazki menjelaskan banyak pasangan yang menikah karena hamil di luar nikah cenderung mudah untuk bercerai. Hal itu dikarenakan banyak pasangan yang belum siap.
"Mereka itu sebenarnya kan belum siap. Kalau pun harus bersama, bekerjanya juga hanya jadi tenaga kasar. Lulusan juga hanya paket C karena sudah malu dengan teman-temannya," jelasnya.
Pengadilan Agama juga selalu mengambil langkah untuk menunda pasangan supaya tidak menikah muda. Namun karena orangtua anak yang sedang hamil tidak mau terlalu malu dengan kondisi tersebut.
"Banyak orangtua tidak tahu bahwa anaknya sudah hamil duluan. Pasti malu. Tapi mereka akan lebih malu lagi jika anak yang dilahirkan nanti tidak punya bapak. Maka kami tetap harus mengeluarkan surat dispensasi," tegas Tazki.
Ia menilai orang yang hamil dan kemudian menikah dilatarbelakangi karena kurangnya perhatian orangtua kepada anak.
Selain itu bisa juga karena orangtua yang sudah bercerai.
"Kalau faktor ekonomi tidak juga. Faktor paling kuat karena kurangnya perhatian kepada anak akhirnya masuk ke pergaulan bebas," tambah dia.
Sebelum mengajukan surat dispensasi, calon pasangan harus mendapatkan surat penolakan dari KUA setempat.
Kemudian kedua calon dan orangtua masing-masing dihadirkan untuk mediasi sebelum di sidang.
"Nanti akan dimintai keterangan satu-satu, kalau sudah selesai baru keluar surat dispensasi. Berat sebenarnya, tapi kami selalu cari jalan terbaiknya," tutupnya.
PKBI Dukung Kenaikan Batas Usia Menikah
Program Manager Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Jawa Tengah, Dwi Yulianto menilai bahwa ketika semua sepakat bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga yang terhormat dan sakral maka seharusnya perkawinan dipersiapkan sebaik-baiknya.
Dilakukan oleh orang yang siap secara psikologis dan biologis dan tentu tanpa menafikan faktor kesiapan ekonomi. PKBI Jawa Tengah termasuk lembaga yang mendukung batas usia perkawinan dinaikkan.
Beberapa alasan adalah berkaitan dengan kesiapan organ reproduksi khususnya perempuan. Karena perempuan yang akan menjalani fungsi reproduksi dari hamil-melahirkan-menyusui.
Dan tahapan tersebut membutuhkan kesiapan fisik dan psikologis.
Alasan lain adalah untuk menekan angka kematian ibu. Karena melahirkan saat usia anak/remaja, sebagai penyumbang angka kematian ibu.
Belum lagi persoalan stunting, yang di Jateng cukup tinggi angkanya.
Remaja yang masih dalam tahap tumbuh dan berkembang, apabila hamil otomatis harus mencukupi gizi dirinya dan janin. Kalau tidak terpenuhi, maka berpotensi BBLR (berat bayi lahir rendah) dan anaknya stunting.
Dwi Yulianto menambahkan, PKBI memikiki dua program berkaitan dengan hal itu, yaitu acara Get Up Speak Out di Kota Semarang dan Yes I Do di Kabupten Rembang.
Kedua program berupaya untuk pemenuhan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, menggerakkan remaja di kelurahan/desa melalui posyandu remaja dan mengadvokasi penyedia layanan (puskesmas) untuk memberikan layanan kesehatan yang ramah remaja.
"Pemenuhan pendidikan kespro dan akses layanan kesehatan ramah remaja bisa menjadi bagian dari solusi. Tingginya pernikahan anak usia dini disebabkan karena faktor ekonomi, KTD (Kejadian Tidak Diinginkan) dan budaya," imbuhnya.
Di Kota Semarang, PKBI Jateng kerjasama dengan Dinas Pendidikan melakukan perluasan pendidikan kespro ke 16 sekolah, setelah piloting di 3 SMP dan 1 MTsN.
Sementara di Kabupaten Rembang, dengan Disdik melakukan perluasan pendidikan kespro ke 28 sekolah.
Menurutnya, Rembang menjadi salah satu daerah di Jawa Tengah dengan angka perkawinan usia dini yang cukup tinggi selain Wonosobo, Grobogan, dan Brebes.
Pencegahan perkawinan anak di Rembang melibatkan banyak pihak antara lain KPAD (kelompok perlindungan anak desa), permberdayaan ekonomi di desa dan memastikan pendidikan kespro di sekolah dan layanan kesehatan reproduksi ramah remaja. Selain itu juga memastikan keterlibatan remaja dalam setiap tahapan. (tim)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Ada 3.865 pasangan Menikah di Bawah Umur di Jawa Tengah, Alasan Terbanyak Hamil di Luar Nikah