Salah Satu Penyebab Banjir di Barabai, Dipicu Pembalakan Liar
"Mereka menebang pohon tanpa peduli mengenai akibatnya, ditambah lagi curah hujan yang ekstrim seperti kemarin akan semakin memperparah kondisi
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, BARABAI - Meski telah terjadi awal tahun 2021 lalu, musibah banjir di hulu sungai Kalimantan Selatan masih memberikan dampak yang luar biasa hingga saat ini.
Pascabanjir bandang Januarii 2021 lalu, saat ini kondisi air sungai di Barabai dan kecamatan lainnya di Hulu Sungai Tengah (HST) tak pernah jernih lagi.
Tiap hari, air sungai berwarna cokelat bahkan kadang kehitaman disertai material kayu, ranting serta sampah lainnya.
Apalagi jika hujan deras, kualitas air sungai makin buruk.
Kondisi itupun sangat berdampak terhadap PDAM Tirta Dharma, yang mengelola ketersediaan air bersih untuk warga HST.
Direktur PDAM HST, Sarbaini, menjelaskan, pasca banjir kekeruhan air baku yang diambil dari sungai Barabai di Padawangan 1000 Nephelomeric Turbidity Unit (NTU).
Fahruzi yang merupakan warga Barabai menyatakan, dampak meluapnya air di hulu sungai masih dirasakan hingga saat ini.
Kerusakan infrastruktur berupa jembatan, bangunan dan akses jalan butuh waktu perbaikan.
Baca juga: Ada Rawa Dataran Rendah hingga Pegunungan, Siklus Tata Air di Barabai Rentan Perubahan Tata Ruang
Meski diakui Fahruzi pada tahun-tahun sebelumnya sering juga terjadi banjir dan dalam setahun itu terjadi satu hingga enam kali, biasanya akan memuncak di bulan keenam.
Fahruzi menyebut, kerusakan alam di Barabai akan makin terjadi, bila praktek illegal logging tidak dihentikan.
"Mereka menebang pohon besar-besaran tanpa peduli mengenai akibatnya, ditambah lagi curah hujan yang ekstrim seperti kemarin akan semakin memperparah kondisi,” tegas Fahruzi.
Faktor kerusakan alam akibat praktik illegal logging (pembalakan liar) dan meluasnya pengambilan batu dan tanah juga dibenarkan oleh Rahma, salah satu penduduk desa yang melihat mirisnya penebangan hutan yang makin banyak terjadi hingga mengakibatkan banjir yang terjadi di awal tahun ini lebih besar dibandingkan banjir besar yang terjadi tahun 2013.
Baca juga: IHSG Banjir Sentimen Positif, Tapi Ada Satu Ganjalan dari Negeri Paman Sam
“Saya pernah dengar cerita tentang sejarah banjir di masa lampau Barabai, tapi hanya sebatas mendengar dari cerita-cerita orang tua.
Yang saya alami banjir bandang kayak gini nih pernah 2013 gitu kan, tapi gak sebesar yang tahun ini,” kata Rahma yang merupakan warga asli Barabai yang menjadi saksi banjir kemarin.
Meski banjir yang melanda merusak dan membuat masyarakat tinggal di tempat pengungsian, tapi bantuan pemerintah daerah, pemerintah pusat dan swasta cepat datang dan mengantisipasi dengan segala kemungkinan di lapangan.
“Bantuan cepat datang dari pusat dengan makanan yang tidak kekurangan, vitamin, dan pakaian.
Baca juga: Padahal Bukan yang Pertama, Vicky Prasetyo Tegang di Depan Penghulu, Ini yang Dipikirkannya
Tapi untuk bantuan tenda pemukiman memang menunggu waktu karena terhalang daerah yang rusak dan tidak bisa dilalui,” kata Rahma.
Banjir Barabai terjadi tidak lepas dari kondisi alam Barabai, dimana illegal logging yang merajalela.
“Seperti yang saya lihat sih salah satunya banyaknya penebangan pohon, sehingga banjir tahun ini dahsyat. Kalo dulu banget penebangan tidak sebanyak ini dan gak pernah juga terjadi banjir bandang selama saya lihat, meskipun kabar dan cerita orang tua pernah terjadi banjir bandang pada zaman dahulu.
Kalau terus menerus penebangan ilegal ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Barabai akan tenggelam” ungkap Rahma dengan prihatin.
Fahruzi mengaku banjir tersebut merepotkan para warga dengan ketinggian air di jalan hampir satu hingga satu setengah meter.
Bahkan di beberapa area, banjir meluluhlantakkan tempat tinggal bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Kelumpuhan ekonomipun terjadi di Barabai. Tinggal di pengungsian dengan segala keterbatasan, membuat masyarakat menangisi musibah yang datang ke desa mereka.
Sejauh ini memang banyak masyarakat mengakui bahwa penebangan-penebangan pohon yang terjadi, seringkali menjadi mata pencaharian bagi segelintir orang.
“Saya lihat penebangan itu dilakukan segelintir orang dengan alasan sebagai mata pencaharian mereka, ada juga yang mengambil pohon-pohon tersebut untuk mendirikan rumah.
Meski yang mereka tebang itu pohon yang besar, tapi harusnya mereka menanam kembali dan jangan dibiarkan menjadi gundul.
Mereka tidak memiliki tanggung jawab pada alam, sehingga membuat alam juga murka dengan kejadian musibah ini. Tanggung jawab ini yang harusnya dimiliki bagi siapapun yang memanfaatkan alam dengan memberikan kompensasi pada alam,” urainya.
Rahma berpendapat bahwa perlu adanya tata kelola sumber daya alam yang baik di Barabai yang memang sangat diharapkan masyarakat.
Selain itu, masyarakatpun perlu diberikan kesadaran dan informasi tentang daerah rentan bencana, hingga mereka tidak boleh lagi mendirikan bangunan ataupun rumah tinggal di area-area yang cenderung merusak tatanan alam maupun area yang rawan bencana.
Dilansir dari Banjarmasin Post, fakta adanya penabangan kayu di hutan pegunungan Meratus di Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel yang merambah wilayah hutan lindung, menurut masyarakat setempat benar adanya.
Pada 19 Desember 2020, warga Pantai Mangkiling dan Bayuana, anak Desa Datar Ajab melakukan semacam inspeksi mendadak (sidak).
Warga pun memergoki ulah para penebang, sedang memotong pohon-pohon besar menggunakan mesin chainsaw.
Sahran, salah satu warga yang memantau hutan di wilayah Pantai Mangkiling mengatakan, melihat langsung bersama 12 warga lainnya aksi penebangan kayu berusia puluhan bahkan mungkin ratusan tahun itu ditebangi.
“Saat kami pergoki, mereka ketakutan karena menebang di hutan lindung di wilayah kami,”kata Sahran kepada banjarmasinpost.co.id, Selasa (2/3/2021).
Perlu Dikaji Ulang Tata Ruang
Sebelumnya, Pakar Hidrogeologi dan Sumberdaya Air Dr Sci Rachmat Fajar Lubis mengatakan, dahulu Kalimantan dibangun dengan konsep tata ruang bebas banjir namun dengan kondisi pertumbuhan saat ini, konsep tersebut tidaklah berlaku lagi.
"Seiring pertumbuhan pembangunan dan masyarakat di wilayah ini menghasilkan perubahan konsep tata ruang," kata Dr Sci Rachmat Fajar Lubis dalam keterangannya.
Kondisi ini ditambah lagi dengan perubahan iklim yang memunculkan event-event cuaca ekstrim seperti perubahan intensitas hujan yang terjadi belakangan ini, membuat konsep bebas banjir ini harus dikaji ulang.
Sebagai provinsi yang disebut-sebut memiliki sejarah banjir sejak 1823, Kalimantan Selatan memiliki keunikan secara geologi.
Salah satu wilayah yang menjadi prioritas kajian ini adalah kota Barabai, yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Kota ini secara geografis terbagi dalam tiga kawasan rawa, dataran rendah, dan wilayah pegunungan Meratus.
Hingga secara alami kawasan ini memiliki siklus tata air (hidrologi) yang sangat rentan akan perubahan tata ruang yang secara langsung dapat merubah neraca keseimbangan air (water balance) yang ada.
“Ini bukan saja terhadap sistem tata air tetapi juga sistem lainnya.
Ini sebabnya harus selalu ada Analisa Dampak Lingkungan yang akan terjadi apabila direncanakan akan ada suatu aktifitas baru di suatu wilayah yang berskala besar,” ungkap Peneliti Geoteknologi LIPI ini.
Barabai adalah sebuah kota kecamatan sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Barabai terletak di tepi sungai Barabai dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibu kota provinsi.
Lokasinya yang terletak di kaki pegunungan Meratus dan bagian dari Daerah Aliran Sungai Barito menjadikan wilayah ini memiliki potensi banjir.