Siswa SMP di Semarang Sebarkan Video Tanpa Busana Siswi Kelas 1 SD Usai Keduanya Video Call
Kasus tersebut ditemukan oleh PPT Seruni setahun lalu namun kasus kekerasan seksual serupa, menurut Iis beberapa kali terjadi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Jateng Iwan Arifianto
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Siswi kelas 1 SD di Semarang Jawa Tengah diajak video call oleh pelajar SMP dan memintanya menunjukan bagian sensitifnya.
Psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang, Iis Amalia mengatakan, pihaknya yang menemukan kasus itu.
"Jadi ada anak kelas 1 SD diminta melepas baju kemudian direkam video lalu video tersebut disebarkan.
Pelakunya itu adalah anak usia SMP," kata Iis Amalia saat dihubungi Tribunjateng.com, Rabu (23/3/2022).
Kasus tersebut ditemukan oleh PPT Seruni setahun lalu namun kasus kekerasan seksual serupa, menurut Iis beberapa kali terjadi.
Tentu kejadian itu sangat miris sehingga orang tua harus tahu cara memberikan edukasi terkait seks dan kekerasan seksual.
"Sehingga, ketika anak mereka diminta orang lain menunjukkan kemaluan atau payudaranya mereka tahu apa yang harus dilakukan," terang Iis.
Baca juga: Tangani Stunting di Semarang, Pemkot Bagikan Susu Gratis
Ia meminta, peran orangtua untuk edukasi anak sangat penting terutama edukasi termasuk pendidikan seks kepada anak sebab, melalui gadget anak-anak zaman sekarang mudah terpapar dengan konten pornografi.
Konten-konten itu dapat memicu tindak kekerasan seksual pada anak.
Selain itu, pendidikan seksual ini penting bagi anak untuk melindungi diri dan paham mengenai gender.
Sebab, banyak kasus yang terjadi mereka baru paham bahwa pernah mengalami pelecehan seksual setelah beranjak remaja atau dewasa.
Trauma bisa menjerumuskan anak ke prostitusi
Kondisi ini bisa berdampak trauma pada korban namun, trauma yang dialami korban ini tidak semua sama.
Ada yang mengalami phobia, ada yang trauma menjadi depresi, ada juga yang bipolar.
"Gangguan psikologis ini tidak hanya satu bentuk, tergantung bagaimana korban menghayati dari kejadian kekerasan seksual itu," tuturnya.
Ia menyebut, hal yang paling berbahaya mereka terjerumus ke prostitusi.
Lantaran merasa sudah tidak punya harga diri dan sudah tidak perawan, sehingga mereka kehilangan kepercayaan diri.
Dengan demikian, untuk mencegah kekerasan pada anak dan kekerasan seksual anak membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Tidak bisa hanya orang tua yang belajar tentang parenting, akan tetapi guru di sekolah tidak sepaham tentu bisa menjadi masalah.
Kemudian, orang tua dan guru sudah sepaham, sistem hukum tidak mendukung juga jadi masalah.
Baca juga: Penjelasan Ahli, Bagaimana Menandai Kemungkinan Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual
"Jadi butuh sinergi dari berbagai pihak karena anak-anak adalah generasi bangsa ke depan, sehingga perlu pendidikan sejak dini," terangnya.
Merujuk data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, dari bulan Januari hingga Maret 2022 ini korban kekerasan berdasarkan kelompok usia didominasi oleh usia anak-anak.
Dari total 42 kasus, ada 12 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 6–12 tahun dan 15 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 13–18 tahun.
Berdasarkan pendidikan, dari total 42 kasus kekerasan, korban kekerasan mayoritas duduk di bangku SD dan SMP. Sebanyak 14 korban adalah siswa SD dan 9 korban adalah siswa SMP.
Menanggapi hal itu, Iis mengatakan, kasus kekerasan anak tidak hanya terjadi akhir-akhir ini.
Kejadian seperti ini sudah sejak lama, tapi beberapa tahun terakhir semakin marak.
Berbagai faktor menjadi pemicu terjadinya kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual kepada anak.
Beragam pemicu kekerasan itu dapat terjadi.
Di antaranya situasi dan kondisi yang tidak menentu, pandemik COVID-19, ekonomi yang sedang sulit, dampak pemutusan hubungan kerja yang dialami orang tua.
"Anak-anak yang merupakan orang terlemah, rentan menjadi pelampiasan atau sasaran dari masalah yang dialami orang tuanya," katanya.
Menurutnya, selama pandemi ini jenis kasus kekerasan kepada anak lebih unik.
Banyak orang tua yang konsultasi anaknya kecanduan gadget selama pandemi.
Orang tua kewalahan dengan sikap anak tersebut terus dipukul sehingga terjadi kekerasan.
Dalam hal ini perlu ada pemahaman bagi orang tua bahwa generasi dulu dan sekarang itu berbeda.
Apalagi kondisi sekarang, sekolah daring anak menjadi akrab dengan gadget.
"Maka, perlu mengubah cara pengasuhan dengan memberikan pemahaman apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada zaman sekarang," pintanya. (Iwn)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul MIRIS! Anak Kelas 1 SD Diajak Video Call Sex Anak SMP, Diminta Tunjukan Bagian Sensitif