Awal Mula Konflik di Keraton Solo Selama 18 Tahun, Rebutan Takhta Setelah PB XII Mangkat
Ternyata, konflik di lingkungan keraton berawal saat meninggalnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004 lalu.
Penulis: Muhammad Renald Shiftanto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Kericuhan kembali terjadi di dalam lingkungan Keraton Solo, Jawa Tengah, Jumat (23/12/2022) malam.
Konflik ini melibatkan dua kubu yaitu kubu Sasono Putro yang mengatasnamakan Sri Susuhunan Pakubuwono XIII dengan Lembaga Adat (LDA) atau kubu Gusti Moeng.
Dari kericuhan yang terjadi Jumat malam, empat orang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Sebenarnya, konflik di Keraton Solo sudah berlangsung selama 18 tahun berawal dari mangkatnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004.
Pakubuwono XII meninggal tanpa memiliki permaisuri serta putra mahkota.
Mengutip TribunJateng, setelah Pakubuwono XII mangkat, terjadilah perebutan kekuasaaan di antara keturunannya.
Baca juga: Soal Ricuh Keraton Solo, Ada Anggota Polisi yang Disebut Todongkan Pistol hingga Kronologinya
Ada dua kubu yang mengklaim sebagai ahli waris.
Kubu Hangabehi, putra tertua dari selir ketiga dan Tedjowulan yang merupakan putra dari selir yang berbeda.
Hangabehi mendeklarasikan sebagai raja pada 31 Agustus 2004.
Sementara Tedjowulan mendeklarasikan diri sebagai raja pada 9 November 2004.
Karena sering terjadi ketegangan, pada 2012, Joko Widodo yang saat itu menjabat Wali Kota Solo dan anggota DPR Mooryati Sudibyo mendamaikan kedua kubu.
Pendamaian tersebut membuahkan hasil Hangabehi dan Tedjowulan menandatangani akta rekonsiliasi.
Akhirnya, Hangabehi tetap menjadi raja, sedangkan Tedjowulan jadi mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.
Namun, sejumlah keturunan Pakubuwono XII menolak rekonsiliasi dan mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.