Kuasa Hukum Korban Guru Supriyani di Konawe Selatan : Pernyataan Jenderal Berbintang Bikin Gaduh
Laode bilang publik butuh tokoh yang bisa membantu melihat masalah ini secara bijak, berimbang dan jangan saat ada isu berlomba-lomba menghakimi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Sultra Dewi Lestari
TRIBUNNEWS.COM, SULTRA - Kuasa hukum pihak korban guru Supriyani, La Ode Muhram Naadu mengatakan, berbagai pernyataan jenderal berbintang terkait kasus guru Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), yang diduga menganiaya muridnya bikin situasi menjadi gaduh.
Ia meminta publik melihat kasus ini secara berimbang.
"Kedua jenderal ini kan adalah polisi.
Justru dari awal saat kedua jenderal ini yang berkomentar, situasi menjadi gaduh," kala La Ode dalam wawancara khusus dengan Tribun Sultra.
Ia mengingatkan, seorang polisi itu harus berkomentar atau berpendapat berdasarkan sesuatu yang bisa diverifikasi atau dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Karena kalau berkomentar itu hanya berdasarkan adanya pemberitaan-pemberitaan di media, yang melakukan spekulasi kiri kanan.
"Bahkan sempat juga mengomentari luka korban, padahal beliau bukan ahli forensik dan tidak melihat langsung lukanya," kata Laode.
Dikatakannya, publik juga butuh tokoh-tokoh yang bisa membantu melihat masalah ini secara bijak dan berimbang sehingga jngan saat ada isu berlomba-lomba menghakimi.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Anak Aipda WH Dibentak Supriyani saat di Kantor Polisi: Di Mana Saya Pukul Kau!
"Sehingga saya mengharapkan ada juga pihak-pihak lain yang mencoba melihat permasalahan ini secara jernih, sambil kita menghormati proses pengadilan, bagaimana hakim menemukan kebenaran dari kasus ini," katanya.
Laode menyampaikan harapannya agar Supriyani mengakui kesalahannya, agar bisa diajukan Restorative Justice sehingga tidak ada lagi vonis bersalah.
"Jika tidak mau mengakui kesalahannya, ibu Supriyani divonis dengan tujuan agar ibu Supriyani tidak mengulangi lagi perbuatannya," katanya.
Dikatakannya, kondisi kedua orangtua korban aman.
"Hanya saja tekanan publik ini tekanan psikologis, di mana ketika buka media sosial melihat lagi dicibir, begitu pula ketika buka berita," katanya.