Tom Cruise, Top Gun dan Mental Kesebelasan Indonesia
Pelatih bertangan besi ini lebih memilih pemain-pemain muda yang mentalitasnya masih dapat ditempa dan dibentuk
Editor: cecep burdansyah
Pemain Belanda keturunan Indonesia yang sedang dalam penatian menentukan bakal dinaturalisasi atau tidak, Jim Croque, dibolehkan ikut latihan dalam TC bersama U-19 ini.
Dia mengungkapkan, betapa beratnya dilatih Shin Tae-yong. Menurut Jim, latihan Timnas U-19 di bawah arahan langsung Shin Tae-yong lebih berat ketimbang latihan di Eropa. Para pemain diminta pelatih Shin Tae-yong untuk mengeluarkan semua kemampuan sampai batas akhir.
Di sinilah “benang merah” antara film Top Gun Maverick dengan kesebelasan Indonesia. Sama seperti Kapten Marverick yang menginginkan dan menekankan agar anak didiknya harus mau dan berani berkorban mencapai “batas akhir kemampuanya,” pelatih Shin Tae-yong juga menghendaki hal serupa dari para “pasukannya.”
Dia ingin setiap pemain memberikan “batas akhir kemampuan fisiknya,” kendati untuk itu mungkin harus mengalami banyak tantangan amat berat, dan bahkan termasuk harus “menderita.” Tanpa hasrat untuk mau “berkorban menderita” mencapai batas kemampuan terakhir, kesebelasan Indonesia tak bakalan meraih sukses.
Sudah menjadi rahasia umum, salah satu kelemahan utama pemain kesebelasan nasional Indonesia terletak pada fisiknya yang lemah.
Mereka sejatihya tidak kuat bermain 90 menit dalam intensitas tinggi dengan kapasitas full stabil. Biasanya para pemain Indonesia di babak kedua staminanya sudah jauh melorot. Dalam keadaan demikian, terbukti kesebelasan Indonesia tak mampu lagi menahan gol-gol dari lawan.
Selama ini para pemain bukan tidak menyadari keadaan seperti ini. Mereka paham benar soal ini. Urusannya, manakala mereka digembleng untuk mencapai taraf stamina yang lebih tinggi lagi, mereka mulai berkeluh kesah.
Sebagian malah sejak awal telah mengatakan tak mampu mencapai taraf yang lebih tinggi, apalagi yang optimal. “Wah, kalau harus seperti itu terlalu berat buat kami. Terus terang kami gak mampu,” kurang lebih begitu alasan yang dikemukan para pemain.
Mindtsetnya mereka sudah lebih dahulu menyerah dan tidak bersedia menderita berkorban berlatih sampai “batas kemampuan terakhir” agar dapat tampil prima. Pemain menjadi “lembek” namun sekaligus malah menjadi “kasar,” atas konpensansi ketidakmampuannya tanpi optimal.
Sebagian besar para pemain kita sudah kalah sebelum bertempur. Dan banyak pelatih mentolerir keadaaan semacam ini. Tak heran ada pelatih nasional, ketika kesebelasan Indonesia “digunduli” 10 gol tanpa balas, tidak menunjukan penyesalan yang mendalam dan menganggap dengan pasukan yang ada, telah sewajarnya Indonesia kalah telak seperti itu.
Tidak ada jiwa spartan. Tidak ada jiwa petarung baik pada pemain maupun pelatihnya.
Pola pikir atau mindset seperti itulah yang ingin dibongkar oleh Shin Tae-Yong Dia menghendaki semua pemainnya mau menunjukan “batas terakhir kemanpuannya,” walaupun untuk itu harus menderita.
Harus berani berkorban untuk mencapai hasil yang terbaik.Jangan belum apa-apa sudah merasa tidak mampu,dan datang ke medan pertempuran dengan mentalitas pecundang.
Tanpa menjadi jumawa, sejatihya banyak nian bakat-pemain sepak bola Indonesia yang menonjol. Mereka memiliki keterampilan dan insting yang kuat.
Apalagi pada generasi sepak bola belia dan remaja Indonesia. Pada masa-masa itu pemain sepak bola kita terlihat tidak jauh berbeda dengan para pemain hebat dari Eropa dan Amerika latin.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.