Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jokowi, Prabowo dan Kuda Tunggangan
Jokowi menaiki kuda putih bernama Salero, Prabowo menaiki kuda cokelat bernama Principe.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Diplomasi kuda! Itulah yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ketika keduanya bertemu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10/2016).
Jokowi menaiki kuda putih bernama Salero, Prabowo menaiki kuda cokelat bernama Principe.
Akankah Salero dan/atau Principe menjelma kuda Troya yang menyusup ke benteng pertahanan lawan untuk menghancurkan musuh masing-masing dari dalam, sebagaimana pasukan Yunani menyusup ke kota Troya (kini Turki), seperti tersurat dalam puisi epos “Aeneid” karya penyair Romawi, Virgil (abad pertama SM), dan buku “Odyssey” karya Homer (725 SM)?
Déjà vu! Kini, petahana calon presiden Jokowi akan kembali bertarung dengan capres Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2019 setelah sebelumnya keduanya berlaga di Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi.
Publik kemudian memaknai diplomasi kuda itu bukan secara harfiah saja, melainkan juga secara simbolik.
Baca: Hasil Surveinya Prabowo-Sandi Menang, Puskaptis Bantah Dibayar
Keduanya diasumsikan menunggangi satu sama lain. Jokowi menunggangi Prabowo dengan isu khilafah, Prabowo menunggangi Jokowi dengan isu Partai Komunis Indonesia (PKI), asing dan Aseng.
Selain menunggangi, keduanya juga ditunggangi. Jokowi diasumsikan ditunggangi komunisme dan kepentingan asing, serta Aseng sehingga Tiongkok minded, sementara Prabowo ditunggangi kepentingan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ide negara khilafah.
Dalam kampanyenya, masing-masing capres kemudian sibuk meng-counter isu-isu miring yang menyerang mereka daripada "menjual" visi, misi dan program kerja masing-masing.
Jokowi yang berpasangan dengan KH Maruf Amin ini berkali-kali menegaskan PKI sudah dibubarkan sejak 12 Maret 1966, atau ketika dirinya baru berusia empat tahun, sehingga tidak masuk akal bila PKI kini ditakutkan, dan tidak masuk akal pula bila dirinya dituding sebagai kader PKI.
Jokowi juga menegaskan dirinya bukan antek-antek asing dan Aseng.
Prabowo pun berkali-kali menegaskan dirinya dilahirkan dari rahim seorang ibu yang beragama Nasrani, sehingga tidak mungkin akan mendirikan negara khilafah.
Namun, dalam empat hal ini keduanya mencapai titik temu, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masing-masing capres mengklaim sebagai yang paling Pancasilais.
Mengapa komunisme lebih mudah 'menunggangi' Jokowi daripada Prabowo? Partai politik pengusung utama Jokowi, baik di Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019 adalah PDI Perjuangan, dan di organ tubuh PDIP banyak bercokol mereka yang diasumsikan sebagai keturunan kader PKI, seperti Ribka Tjiptaning Ploretariati yang menulis buku, “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.