Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bangsa yang Terbelah
Ancaman people power dari pihak yang merasa dicurangi secara eksesif dan sistematis telah menjadikan situasi politik tanah air menjadi sangat mencekam
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh: Sawedi Muhammad *)
SEJAK belajar ilmu Politik-Pemerintahan, Sosiologi dan Antropologi sekitar 20 tahun lalu, rasanya belum pernah sekhawatir hari ini menyaksikan lanskap politik tanah air yang semakin bergolak.
Apa yang disebut Adam Swarch "A Nation in Waiting" atau istilah Ian Goldin sebagai bangsa yang terbelah (divided nation) nampaknya relevan dengan potret Indonesia hari ini.
Gambaran suram konflik horizontal yang dapat berujung pada tragedi kejatuhan sebuah bangsa bukanlah isapan jempol belaka.
Negara Versus Masyarakat Sipil
Meski terlibat langsung di pertengahan 90-an dalam menentang rezim sultanistik-otoriter, peta kekuatan siapa berhadapan dengan siapa terbaca begitu jelas.
Militer dengan kekuatan penuh membentengi rezim dan menjaga imunitas negara atas segala ronrongan. Mahasiswa dengan gagah berani menjadikan negara sebagai musuh bersama. Agendanya tunggal. Tumbangkan rezim otoriter.
Baca: Akademisi UI: Gagasan Wiranto Tak Tunjukkan Sikap Otoriter Negara Ala Orba
Pers yang menjadi corong negara dan pers yang bergerak di bawah tanah bersaing secara diametral mewartakan kebenaran versi masing-masing. Aktor-aktor yang terlibat konflik begitu nyata pijakan dan posisinya. Opisisi biner (binary opposition) yang saling menghabisi.
Singkatnya, negara dengan sistem otoriter berhadapan dengan masyarakat sipil yang menuntut kebebasan dan demokrasi.
Setelah reformasi yang menggulingkan rezim Suharto, impian dan cita-cita perjuangan akan demokrasi, kebebasan, kesejahteraan dan keadilan sosial nampakya semakin kabur.
Reformasi nampaknya menuntaskan satu masalah tunggal; persoalan ekonomi para pentolannya. Aktor-aktor politik baru yang menduduki posisi penting di pemerintahan telah melupakan agenda perubahan yang diusungnya.
Alih-alih konsisten memperjuangkan agenda reformasi, mereka justru mereplikasi prilaku koruptif-manipulatif dari rezim yang ditumbangkannya.
Bahkan banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa korupsi di zaman reformasi semakin tidak terkendali karena aktornya tersebar dari pusat hingga ke daerah-daerah pelosok. Ia semakin eksesesif, massif dan tak terkendali.
Aru Balik Demokrasi