Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Orang Kaya Bermental Miskin
"Sesusah apa pun, orang miskin tidak boleh mencuri. Berbeda dengan orang kaya. Sebab hukum diciptakan untuk orang kaya."
Editor: Hasanudin Aco
Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya menerabas.
Koentjaraningrat dalam bukunya "Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan" (1974) menulis, sikap mental menerabas merupakan salah satu kelemahan nilai budaya bangsa Indonesia.
Menurut Koentjaraningrat, mentalitas menerabas adalah sifat negatif dan tercela yang melekat pada diri seseorang untuk mencapai maksud dan tujuan secara cepat tanpa banyak melakukan kerja keras secara bertahap. Mentalitas menerabas identik dengan cara mengambil jalan pintas yang dilakukan seseorang guna mencapai tujuan secara mudah.
Mentalitas menerabas, demikian Koentjaraningrat, antara lain dilakukan pengusaha baru yang ingin memperoleh kekayaan melimpah dengan cara aji mumpung (meraup keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan) atau pejabat yang memperkaya diri mumpung ia menjadi pejabat atau penguasa.
Fenomena ini dapat dilihat secara nyata dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Korupsi adalah jalan pintas, melawan hukum, tidak sah, atau tidak halal yang ditempuh pelakunya untuk mencapai tujuan (meraup keuntungan atau memperkaya diri).
Mentalitas
Fenomena orang kaya bermental miskin memang marak di Ibu Kota. Lihatlah di mal-mal mewah saat digelar pesta diskon.
Banyak orang kantoran, pagawai berdasi atau pengusaha muda yang mungkin tergolong OKB (orang kaya baru) rela antre berjam-jam, bahkan terkadang sampai menginap segala, untuk memburu barang incarannya dengan harga miring.
Lihat pula di pusat-pusat perbelanjaan menengah ke bawah di mana banyak konsumen antre di kasir yang melayani KJP (Kartu Jakarta Pintar) dengan mengenakan perhiasan emas mewah di leher dan kedua lengannya.
Keluar dari kasir, ada yang menelepon suami, sanak keluarga atau sopirnya supaya menjemputnya di lobi dengan mobilnya. Demi KJP, mereka rela memanipulasi data dan menggadaikan harga dirinya.
Data menunjukkan, sekitar 300.000 KJP di DKI Jakarta tidak tepat sasaran.
Fenomena di Ibu Kota ini kontras dengan fenomena di kampung-kampung. Ribuan keluarga miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur penerima PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kementerian Sosial terpaksa mengundurkan diri gara-gara di dinding rumahnya dipasang cap,label atau stiker PKH, bahkan ada yang ekstrem ditambahi tulisan semacam sumpah, "Bila saya berbohong maka siap dilaknat Allah" dengan besaran dan warna tulisan yang cukup mencolok.
Mengapa banyak orang kaya di kota, dan biasanya berpendidikan tinggi, bermental kere atau miskin dan rela menggadaikan harga dirinya?
Mengapa di desa banyak orang miskin, biasanya pendidikannya rendah, punya gengsi atau harga diri sehingga rela mengorbankan bantuan pemerintah yang berhak mereka terima demi mempertahankan harga diri atau harkat dan martabatnya?
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.