Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Refleksi Akhir Tahun: Indonesia Bangkit Dan Maju Tanpa Persatuan, Mungkinkah ??
Legasi agung dan bangkitnya semangat persatuan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang secara historis maupun genealogis pewaris dan penerus DNA bangsa
Editor: Toni Bramantoro
Dalam kontemplasinya selama empat tahun menjalani pengasingan (1934-1938) itulah muncul gagasan yang ia sebut sebagai "Lima Butir Mutiara".
Majas metafora "mutiara" dipilih karena apa yang ia temukan dalam kontemplasinya adalah nilai-nilai luhur atau sesuatu yang sangat berharga yang sejak ribuan tahun terpendam di bumi Nusantara. Nilai-nilai itu pula - salah satunya semangat Sumpah Palapa, yang menjadi falsafah dan pedoman hidup masyarakat kala itu dan sukses mengantar Majapahit menggapai puncak kejayaan.
Tanpa Sumpah Palapa yang artinya tanpa semangat persatuan, gagasan agung penyatuan Nusantara Gajah Mada hanyalah utopia belaka.
"Lima butir mutiara" dari Ende itulah yang tujuh tahun kemudian oleh Sukarno diberi nama Pancasila. Dalam pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Pancasila menjadi jawaban tunggal atas pertanyaan Ketua BPUPKI, KRT Radjiman Wedyodiningrat, tentang dasar negara setelah Indonesia merdeka. Setelah teks dan susunannya disempurnakan, tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI Pancasila disahkan sebagai dasar negara dan terpatrikan di alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945.
Sudahkah bangsa Indonesia solid dan bersatu?
Indonesia adalah bangsa besar dan plural yang beraneka ragam suku, agama, bahasa, serta budaya dan kearifan lokalnya.
Kondisi tersebut berimplikasi ganda: positif sekaligus negatif. Sisi positifnya, keanekaragaman tersebut menambah budaya Indonesia lebih dinamis dan berwarna.
Sisi negatifnya, apabila kurang arif dan bijak kita mengelolanya, kemajemukan tersebut justru berbahaya.
Antara lain perpecahan. Itulah sebabnya menjelang Indonesia merdeka para pendiri bangsa telah menyiapkan langkah-langkah antisipasinya.
Contohnya dasar negara Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Di dalamnya semua terkandung unsur penekanan pentingnya persatuan bangsa. Bagaimana kenyataannya?
Dua dekade pertama memasuki gerbang kemerdekaan merupakan periode terberat bangsa Indonesia. Tekanan bertubi-tubi datang dari luar dan dalam. Hanya selang beberapa hari setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, pasukan Sekutu (AFNEI) dengan NICA membonceng di belakangnya mendarat.
Tidak kurang dari 14 pertempuran hebat berkobar di seluruh Indonesia menolak kehadiran mereka. Gaduh politik terjadi di pusat dan daerah. Demikian pula permusuhan antar-partai/ golongan. Gonta-ganti kabinet hingga tujuh kali dalam sembilan tahun selama Demokrasi Liberal. Belum lagi pemberontakan dalam negeri, seperti DI/ TII, APRA, PRRI/ Permesta, dan RMS.
Berbagai upaya penyelamatan keluar dari krisis politik berkepanjangan yang dilakukan Sukarno, termasuk dengan penerapan Demokrasi Terpimpin, tidak membawa hasil. Sebaliknya situasi makin memburuk. Puncaknya tragedi berdarah dini hari tanggal 1 Oktober 1965 yang menelan korban tujuh perwira (6 jenderal + 1 letnan) TNI AD dan 1 warga sipil.