Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pesantren BIMA Wajibkan Santrinya Nonton Film dan Punya Studio Sendiri
Tak berselang lama, pesantren pun mendatangkan para artis yang bermain di film-film yang terekomendasikan.
Editor: Husein Sanusi
Pesantren BIMA Wajibkan Santrinya Nonton Film dan Punya Studio Sendiri
Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Liburan akhir tahun 2017 menjadi liburan yang sama sekali beda, baik bagi wali santri dan santrinya. Sebelum liburan, para wali santri datang untuk menjemput putra-putrinya. Saat itulah Panitia Liburan mengumumkan bahwa nanti para santri diharuskan membawa bukti tiket telah menonton film di bioskop di kotanya masing-masing.
Untuk memberi pemahaman kepada para wali santri, saya memberikan gambaran kenapa ini dilakukan dan tujuan pesantren menerapkan peraturan tersebut. Tentu tidak sembarang film yang wajib ditonton.
Hanya film yang mengandung pendidikan, semangat untuk berprestasi, pemahaman yang lebih baik mengenai konflik antarmanusia, atau perjuangan dalam dakwah saja yang wajib untuk ditonton. Sebut saja misalnya 99 Cahaya di Langit Eropa, Ayat Ayat Cinta 1, Laskar Pelangi, Sang Pencerah, Guru Bangsa, Sang Kyai, Ayat Ayat Cinta 2, dan seterusnya.
Al-hamdulillah para wali santri memahami dan bahkan menyambut dengan baik. Tidak sedikit wali santri yang mendampingi putra-putrinya menonton di bioskop-bioskop di kotanya.
Tak berselang lama, pesantren pun mendatangkan para artis yang bermain di film-film yang terekomendasikan tersebut, termasuk sutradaranya dan tim IT-nya untuk berdialog dengan santri-santri Bina Insan Mulia.
Melihat dampak yang dihasilkan dalam jangka pendek dan jangka panjang, saya sebetulnya ingin terus menjalankan agenda ini. Tapi karena adanya pandemi Covid 19, agenda ini jadi terhenti untuk sementara.
Meski demikian, ada terobosan yang dapat diwujudkan oleh pesantren dengan memiliki studio film sendiri. Para santri digilir untuk bisa menonton sesuai jadwal.
Banyak yang bertanya, kenapa menonton film menjadi fardhu ‘ain di Bina Insan Mulia? Tentu maksudnya fardhu ’ain dalam pendidikan. Kalau dikembalikan ke kaidah ushuliyah “al-hukmu yaduru bainal illah wujudan wa adaman” (hukum itu tergantung konteksnya), tentu ada sekian alasan kenapa dulu para santri dilarang dan sekarang dibolehkan atau bahkan dianjurkan.
Bahkan tradisi pesantren telah mengajarkan sebuah konsep hidup yang dapat mendamaikan masa lalu dan masa depan yang kita gunakan mengisi hari ini, yaitu menjaga yang baik dari yang lama dan menciptakan hal baru yang lebih baik untuk hari esok atau al-muhafadzoh alal qodimish sholih wal-akhdzu bil jadidil ashlah.
Dunia telah Menjadi Masyarakat yang Terhubung
Bagi kita di Indonesia, ada fakta yang mengejutkan sejak tahun 2000 mengenai dunia ini. Sejak itu seluruh masyarakat di dunia telah terhubung satu sama lain yang disebut masyarakat jaringan (connecting community). Artinya, semua orang di dunia ini bisa berkomunikasi satu sama lain selama dia terhubung dengan internet (masyarakat digital).
Masyarakat jaringan ini menghasilkan sebuah kemudahan yang belum pernah ada di zaman sebelumnya. Kemudahan yang kita rasakan hari ini adalah kemudahan mendapatkan informasi, pengetahuan, berkomunikasi, bekerja, dan belajar.
Dahulu kala, di tahun 70, 80 sampai 90-an, yang memiliki buku berbahasa Arab yang tebal-tebal itu hanya orang-orang tertentu. Umumnya para kiai, dosen, para tokoh yang telah belajar di luar negeri. Tapi hari ini, semua orang punya kesempatan untuk memiliki buku dengan bahasa apa pun di dunia dan itu nyaris gratis karena saking murahnya.