Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT Vale Indonesia

PT Vale Indonesia berkomitmen untuk mengontrol emisi gas rumah kaca melalui pengurangan 33% tingkat emisi karbon

Editor: Erik S
zoom-in Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT Vale Indonesia
Adaro
Ilustrasi tambang PT Vale Indonesia berkomitmen untuk mengontrol emisi gas rumah kaca melalui pengurangan 33% tingkat emisi karbon 

Untuk mencapai target yang dijanjikan Jokowi di KTT Roma, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya menegaskan dua tema inti yang berkaitan langsung dengan kepemimpinan Indonesia di G20 dan tindak lanjut dari COP26 yaitu hutan dan tata guna lahan dan transisi energi.

Untuk komitmen hutan dan tata guna lahan, Indonesia menargetkan mencapai net carbon sink melalui zero deforestasi pada tahun 2030.

Sementara untuk transisi energi, pemerintah memberikan prioritas untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber energi listrik, sekaligus mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai ekonomi yang lebih hijau baik di sektor industri maupun energi.

Sementara untuk Presidensi Indonesia di G20, kelompok kerja memprioritaskan tiga isu utama; mendukung pemulihan secara berkelanjutan, meningkatkan aksi bawah laut (sea-based action) untuk mendukung perlindungan lingkungan dan meningkat mobilisasi sumber daya untuk mendukung lingkungan dan pemulihan iklim.

Siti Nurbaya menjelaskan bahwa target net _carbon sink_ dan transisi energi pada tahun 2030 telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah yang dikeluarkan tahun 2021. (Foresthints.news, 2 Maret, 2022).

Aksi korporasi PT Vale Indonesia

Dalam laporan resmi mengenai Sustainability Report 2020, PT Vale Indonesia berkomitmen untuk mengontrol emisi gas rumah kaca melalui pengurangan 33% tingkat emisi karbon di tahun 2030 dan rantai suplai emisi karbon sebesar 15% di tahun 2035.

Berita Rekomendasi

Beberapa langkah konkret yang dilakukan PT. Vale dalam program yang disebut sebagai _Vale Power Shift Initiatives_ adalah automasi dan penggunaan kecerdasan buatan, sistem elektifikasi yang dapat diperbaharui dan menggunakan energi alternatif untuk kegiatan pertambangan.

Selain itu, PT Vale telah menunda Coal Conversion Project 2 (CCP 2), meski program ini diklaim mengurangi biaya keuangan korporasi sebesar $40 milyar per tahun. Melalui penundaan konversi batu bara, PT Vale menghindari penambahan emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 200.000 ton CO2 per tahun.

PT. Vale juga menggunakan 30% biofuel (BBN) Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai biodiesel untuk kendaraan operasionalnya (Vale sustainability Report, 2020).

Untuk mewujudkan komitmen investasi sesuai amandemen Kontrak Karya tahun 2014, PT. Vale akan merealisasikan pembangunan pabrik pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Melalui kemitraan dengan Taiyuan Iron & Steel (Group) CO, Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co, Ltd (Xinhai) telah menandatangani perjanjian kerangka kerja sama proyek (PCFA) untuk fasilitas pengolahan nikel di Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Juni 2021.

Fasilitas pengolahan yang akan dibangun terdiri dari delapan lini _Rotary Kiln – Electric Furnace (RKEF)_ dengan perkiraan produksi sebesar 73.000 metrik ton nikel per tahun.

Untuk kebutuhan biji nikel akan dipasok dari Kontrak Karya (KK) Blok 2 dan Blok 3 Bahudopi seluas 16.395 hektar.

Sementara untuk wilayah Pomalaa, Sulawesi Tenggara, PT. Vale menguasai KK seluas 20.286 hektar. Proyek tersebut adalah penambangan oleh PT. Vale dan pabrik pengolahan dengan teknologi _High Pressure Acid Leaching (HPAL)_ yang akan dioperasikan oleh perusahaan patungan yang dibentuk oleh Sumitomo Metal Mining, Co Ltd (SMM) dan PT. Vale (SINDOnews, 8 November, 2021).

Pertanyaanya adalah, apakah kedua pilihan teknologi peleburan nikel yang diadopsi PT. Vale; Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di Morowali dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target yang dijanjikan Jokowi di KTT Roma dan komitmen dalam Presidensi Indonesia di G20?

Pertanyaan strategis inilah yang harus dijawab ketika menyoal perdebatan mengenai perpanjangan izin pertambangan PT. Vale Indonesia.

Isu lingkungan menjadi penentu karena tidak hanya menyangkut komitmen pemerintah di level internasional tetapi juga berkaitan dengan traceability produk yang dihasilkan sekaligus penilaian mengenai tata kelola Environment, Social and Governance (ESG) yang komprehensif.

Satu hal yang pasti, baik teknologi RKEF dan HPAL keduanya menggunakan energi listrik yang sangat besar. Saat ini PT. Vale tidak punya banyak pilihan; membeli listrik dari PLN atau membuat sumber energi sendjiri dari tenaga diesel atau batu bara.

Dari segi lingkungan, penggunaan energi dari sumber yang tidak dapat diperbaharui akan berkontribusi besar terhadap polusi udara dan akan menghambat upaya pemerintah untuk mencapai net carbon sink dan transisi energi tahun 2030.

Selain itu, pembuangan limbah lumpur dari pengolahan HPAL yang dibuang ke laut dalam _(deep sea tailing placement)_ sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan bawah laut (sea-based action).

Demikian pula dengan eksploitasi pertambangan sistem open pit mengharuskan pembabatan hutan dalam jumlah yang sangat besar. Hampir seluruh wilayah izin pertambangan PT. Vale Indonesia di tiga provinsi berada dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung. Penebangan hutan dalam jumlah ratusan sampai ribuan hektar per tahun sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah di COP26 yang menargetkan zero deforestation di tahun 2030.

*Catatan Penutup*

Setelah menganalisis sejarah industri pertambangan dan kompleksitas yang ditimbulkan baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan, maka sangat dimaklumi apabila begitu banyak respon negatif terhadap kehadiran PT. Vale Indonesia.

Meski perusahaan ini telah beroperasi lebih dari setengah abad, transfer pengetahuan dan teknologi pertambangan ke sumber daya manusia lokal tidak juga terlaksana.

Selain itu, persoalan konflik lahan, maksimalisasi program CSR, pencemaran lingkungan, pemberdayaan kontraktor lokal dan rekrutmen tenaga kerja terutama masyarakat asli masih terus terjadi secara berulang.

Meski PT. Vale Indonesia secara normatif telah mendapatkan penghargaan tertinggi untuk pengelolaan lingkungan (Proper), indikator Environment, Social dan Governance belum dicapai secara maksimal dan komprehensif.

Sesuai amandemen KK yang ditandatangani tahun 2014, maka renegosiasi perpanjangan kontrak dan peralihan ke Izin Usaha Pertambangan Khusus akan dimulai tahun 2023, dua tahun sebelum KK berakhir tahun 2025.

Tidak mudah bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi, mengingat berbagai isu strategis harus dipertimbangkan sebelum memutuskan apakah izin pertambangan PT. Vale Indonesia diperpanjang atau tidak.

Beberapa pertimbangan berikut dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi perpanjangan izin pertambangan. Pertama, sesuai komitmen PT. Vale yang akan membangun smelter di Morowali dan Bahudopi yang hampir pasti tidak sesuai timeline, maka pemerintah harus memberi poin tersendiri mengenai keseriusan perusahaan dalam merealisasikan komitmennya.

Sebagai perbandingan, IMIP Morowali dan Virtue Dragon dapat merampungkan pembangunan smelter dan melakukan ekspor perdana hanya dalam waktu empat tahun saja.

Baca juga: Usai Rambah Jasa Pertambangan, PPRE Siap Bangun Infrastruktur di Halmahera Tengah

Kedua, pilihan teknologi untuk kedua pabrik peleburan nikel di Morowali dan Pomalaa bukanlah teknologi yang ramah lingkungan. Apabila kedua smelter tersebut beroperasi, maka dapat dipastikan target pemerintah untuk zero deforestasi, transisi energi dan net carbon sink tahun 2030 tidak akan tercapai.

Ketiga, kinerja ESG PT. Vale di blok Sorowako tidak ditunaikan secara maksimal. Artinya, perusahaan akan semakin kesulitan melaksanakan tata kelola pertambangan yang baik sesuai prinsip-prinsip ESG secara bersamaan di tiga tempat yang berbeda secara bersamaan.

Keempat, sebelum mengambil keputusan mengenai status perizinan perusahaan, pemerintah sebaiknya melakukan konsultasi secara menyeluruh di tiga provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) dengan melibatkan stakeholder lokal yang selama ini bersentuhan langsung dengan perusahaan. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan melalui dialog yang terbuka dan partisipatif untuk mengetahui gambaran objektif tentang kontribusi pertambangan di berbagai bidang.

Keputusan apa pun yang diambil adalah yang terbaik untuk pembangunan bangsa dan negara. Tetapi hendaknya pemerintah memahami bahwa meski ekspedisi Columbus dan penjelajahan Magellan sudah tidak ditemukan di abad ini, strategi negara Barat dan Timur untuk menguasai kekayaan alam Indonesia telah bertransformasi kedalam formasi baru yang disebut oleh Harry Magdoff sebagai _imperialism without colonies_ Sudah saatnya pemerintah mengembalikan spirit pasal 33 UUD 1945 ayat 33, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas