Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ali Harb, Globalisasi dan Serangannya terhadap Pemikiran Abid al-Jabiri
Ali Harb sebagaimana Abid al-Jabiri juga memiliki banyak karya tulis ilmiah. Karya-karyanya yang ilmiah filosofis banyak diterima oleh pembaca
Editor: Husein Sanusi
Abid al-Jabiri mengatakan, manifestasi pertama globalisasi adalah pemusatan kegiatan ekonomi di tingkat global yang dicengkram oleh tangan segelintir kelompok oligarki. Pada gilirannya, pihak mayoritas hanya menjadi pekerja. Sementara keuntungan akan jatuh ke tangan pihak segelintir orang (Abid al-Jabiri, 2007).
Dari sini dapat disimpulkan, ada sudut pandang berbeda dari Ali Harb. Globalisasi menantang setiap orang untuk berubah, karena perubahan adalah jalan menuju kemajuan. Karena setiap orang harus bekerja keras untuk mencapai kemajuan tersebut. Jadi, Ali Harb memilih posisi yang optimistik.
Berbeda halnya dengan Abid al-Jabiri, ia lebih condong melihat dampak globalisasi, yang hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Bahkan, pihak yang dirugikan adalah golongan mayoritas. Pihak yang diuntungkan adalah segelintir oligarki.
Dengan demikian, Ali Harb adalah tokoh terkemuka pembela globalisasi. Hal itu terlihat jelas melalui kampanyenya yang sengit melawan para pendukung identitas dan warisan tradisional mereka. Jadi, musuh utama Ali Harb adalah kaum tradisionalis yang lebih mempertahankan identitas tradisional mereka, dan melupakan untuk mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Dari sana, Ali Harb mengajukan sebuah pertanyaan kritis tentang legitimasi mereka dalam mempertahankan tradisionalismenya. Dalam bukunya yang berjudul ‘’Naqd al-nash’ Ali Harb mengajukan pertanyaan begini: apakah mereka yang menjaga tradisi masih memiliki legitimasinya dalam merepresentasikan budaya, identitas, umat, serta urusan kebenaran? (Ali Harb, Naqd al-Nash, 1993).
Tampaknya, Ali Harb dan Abid al-Jabiri memang berbeda dalam memahami makna tradisi, turots, dan identitas umat muslim, khususnya menghadapi globalisme. Tetapi, tentang pentingnya menafsiri tradisi dan masa lalu dengan kacamata yang lebih kontekstual, keduanya berada pada posisi yang sama.
Artinya, dari Ali Harb maupun Abid al-Jabiri, kita bisa menyimpulkan bahwa globalisasi dan modernisme itu penting selama masih bisa mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mampu mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Prinsip ini kita sudah pegang teguh melalui slogan: al-muhafazhal alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.