Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Keragaman Etnis Meluas Sejak Akhir Zaman Es dan Daratan Sunda Terpecah-pecah
Populasi manusia modern telah tinggal di Cina Selatan dalam waktu yang lama, sejak sebelum pemanasan global di akhir Zaman Es.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Hal demikian dapat dipahami bahwa sisa-sisa populasi yang pertama ini di Asia Tenggara pada dasarnya digantikan atau diasimilasi oleh migrasi populasi yang kedua; sedangkan mereka yang telah menetap di Australia dan Papua Nugini relatif tidak terpengaruh oleh migrasi yang kedua.
Berdasarkan asumsi ini lah sekelompok ilmuwan aDNA telah mengantisipasi dengan melakukan penelitian mtDNA-nya, dan mereka telah menegaskan bahwa Asia Tenggara bisa jadi merupakan clinal zone antara genotipe Australomelanesoid (timur dan selatan) dan Mongoloid (barat dan utara).
Bukti-bukti ini makin nyata seperti yang telah diungkapkan di depan. Pun paleoantropolog pioneer Indonesia T. Jacob telah menegaskan bukti-bukti ini.
Migrasi-migrasi populasi manusia prasejarah di kawasan Asia Tenggara telah menghadirkan banyak interpretasi dan perdebatan oleh banyak ilmuwan dari beragam disiplin ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan ini telah mengemukakan argumentasi-argumentasinya, baik dari penelitian karakteristikkarakteristik morfologis gigi-geliginya, antropologi biologis-paleoantropologisnya, perbandinganperbandingan linguistik dan material arkeologisnya, perbandingan-perbandingan material arkeobotanis dan arkeozoologisnya, perbandingan-perbandingan genetika manusianya, dan bahkan telah ada upayaupaya untuk menggunakan multidisipliner dan interdisipliner di antara genetika manusia, arkeologi dan linguistiknya.
Upaya lain bahkan telah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap bakteri-bakteri dalam kaitannya untuk mengetahui migrasi-migrasi ini.
Asumsinya, bakteri-bakteri pathogen ini selalu hadir di dalam badan manusia (populasi) tersebut, dan selanjutnya terbawa ke mana mereka bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Lalu terus dapat ditularkan ke populasipopulasi lain dalam kontak-kontak selanjutnya baik langsung ataupun tidak langsung.
Gegap kempita ini telah mengusik benak Oppenheimer dan rekannya Richards, dan mereka telah menanggapi masalah ini dengan suasana riang seperti berkelakar tidak terasa jika perdebatan-perdebatan ini telah memakan waktu lebih dari 200 tahun.
Beberapa hipotesis berkaitan dengan asal-usul Austronesia ini telah ikut menyemarakkan diskusi sejarah migrasi Australomelanesoid dan Mongoloid di Nusantara.
Secara garis besar, ada dua kutub pandangan; di mana satu sisi menyebut mereka berasal dari Asia Tenggara Kepulauan (off-shore), dan sisi lain menyebut mereka berasal dari Asia Daratan (on-shore).
Sekelompok ilmuwan paleo- dan arkeomegajukan skenario asal-usul mereka meliputi Asia Tenggara. Kepulauan yang membentang dari Taiwan (Formosa), Pantai Timur Asia Tenggara Daratan, Semenanjung Malaka, Kepulauan Filipina dan Kepulauan Indonesia minus Papua.
Sebenarnya pandangan paling tua ini masih dipegang oleh beberapa ahli genetika populasi berdasarkan bukti-bukti data haplotipe distribusi polimorfisme biallele pada kromosom Y dari populasi-populasi hidupnya di kawasan Asia Tenggara, Taiwan, Mikronesia, Melanesia dan Polinesia.
Seorang arkeolog mengajukan skenario bahwa mereka berasal dari wilayah Sulawesi, khususnya dari bagian tengah dan utara, bagian selatan Kepulauan Filipina dan bagian utara Kalimantan (Borneo), dan selanjutnya mereka menyebar ke wilayah-wilayah di sekitarnya yang diperkirakan sekitar 5.000 BC.