Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Solusi Komprehensif Menuju Indonesia Menjadi Mercusuar Dunia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang secara historis maupun genealogis penerus dan pewaris DNA bangsa besar, yaitu bangsa Nusantara
Editor: Toni Bramantoro
Bagaimana dengan Indonesia? Akankah kita selamat atau mengalami nasib serupa? Itulah sebabnya sebelum merdeka para pendiri bangsa telah menyiapkan berbagai perangkat antisipasinya. Contoh Pancasila, lagu
kebangsaan "Indonesia Raya", dan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang semua menyeru pentingnya persatuan bangsa. Bagaimana faktanya? Alih-alih bersatu, holopis kuntul baris.
Berbagai konflik vertikal/ horizontal justru tidak pernah sepi sejak proklamasi berkumandang. Masuknya doktrin, ajaran, dan ideologi transnasional seiring terbukanya keran kebebasan pasca reformasi, membuat anatomi konflik makin kompleks dan beragam. Antara lain konflik sektarian berlatar belakang SARA dan aksi terorisme berbasis agama. Tidak aneh, sepanjang merdeka, merujuk sumber data Labkurtannas Lemhannas RI, ketahanan nasional Indonesia kondisinya
kurang tangguh alias memprihatinkan.
Sebagai dasar negara (staatsfundamentalnorm), ideologi negara (philosophische grondslag), dan pandangan hidup bangsa (way of life), Pancasila adalah final. Artinya fungsi, peran, dan kedudukan Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa atau telah menjadi konsensus nasional yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
Tetapi faktanya masih ada saja pihak-pihak yang secara 5 terselubung maupun terang-terangan ingin mengganggu, melemahkan, bahkan mengganti. Ironisnya salah satunya lembaga tinggi negara sendiri yang harusnya menjaga dan melindungi. Miris!
Demikian pula UUD NRI 1945 yang setelah empat kali amandemen, kini sudah tidak senafas lagi dengan Pancasila. Karena cukup banyak ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayatnya. Akibatnya, negara terjebak pada praktik kekuasaan oligarki. Pengelolaan negara lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, tetapi menafikan pembangunan kesejahteraan rakyat yang harusnya menjadi tujuan utama.
Solusi komprehensif
Seperti di awal telah diuraikan, catatan kebesaran sejarah Nusantara sejatinya telah dimulai sejak peradaban Lemuria dan Atlantis mulai terungkap, walaupun masih misteri. Tidak sedikit riset dan kajian ilmiah mengarah pada kebenaran teori kehidupan mereka di masa lampau.
Contohnya buku-buku karya para ilmuwan, seperti Robert Dick-Read (Inggris), Augustus Le Plongeon (Inggris/ Amerika), Arysio Santos (Brasil), Danny Hilman (Indonesia), Slamet Muljana (Indonesia). Jejak tingginya peradaban leluhur baru mulai menemukan titik terang setelah memasuki periode Nusantara dengan ditemukannya bukti-bukti autentik, seperti artefak, kronik sejarah, dan berbagai karya agung yang ditinggalkan.
Rangkaian catatan gemilang selama ribuan tahun itu adalah bukti Nusantara adalah pusat gravitasi (center of gravity) peradaban dunia. Sebagai visi geopolitik Indonesia abad ke-21, "Poros Maritim Dunia" tidak bisa dilepaskan dari cetak biru (blueprint) spirit kebesaran yang secara intrinsik melekat dalam diri bangsa Nusantara.
Sayang, "Poros Maritim Dunia" yang pada masa-masa awal peluncurannya (2014-2016) begitu menggelegar kini nyaris tak terdengar.
Karut-marutnya kondisi bangsa pasca-runtuhnya Majapahit hingga kini kita (baca: bangsa Indonesia) menjadi bangsa pecundang (good loser), inferior, dan bulan-bulanan bangsa asing tentu menimbulkan keprihatinan mendalam kita bersama.
Oleh karena itu, sebagai anak bangsa yang memiliki tanggung jawab moral akan keselamatan bangsa, kami menawarkan solusi komprehensif, yaitu secara kultural "Gerakan Kembali ke Nusantara" dan secara akademik "Trilogi
Geopolitik Indonesia Abad ke-21".6 "Gerakan Kembali ke Nusantara"
Keinginan kembali ke Nusantara bukan tanpa sebab, tetapi dipicu keprihatinan mendalam akan karut-marutnya kondisi bangsa selama berabad-abad pasca-runtuhnya Majapahit. Kuatnya keinginan terkristalisasi menjadi sebuah gerakan, bernama "Gerakan Kembali ke Nusantara" disingkat GKKN. Oleh karena itu, GKKN bisa diartikan sebagai gerakan moral berbasis budaya untuk mendorong tumbuhnya kembali orisinalitas karakter dan tradisi sebagai bangsa besar (baca:
superior) agar Indonesia bangkit dan kembali menjadi mercusuar dunia. GKKN bersifat terbuka,
inklusif, dan non-partisan.
Definisi tersebut memastikan GKKN tidak berniat ingin mendorong Indonesia kembali ke sistem lama. Bagaimanapun Pasal 1 ayat 1 UUD NRI 1945 bahwa "negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik" bersifat einmalig alias final. Subtansi persoalan bukan pada bentuk negara atau sistem pemerintahan, melainkan lebih pada penekanan spirit kebesarannya. Karena tanpa spirit kebesaran--apapun bentuk negara atau sistem pemerintahanya--bangsa Indonesia tidak akan mampu bangkit, maju, dan meraih cita-cita. GKKN termanifestasi dalam sembilan konfigurasi jalan pencapaian (J), yaitu: J-1.
Kembali ke kesejatian Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara yang setiap silanya dipahami, dihayati, dan dipraktikkan sebagaimana seharusnya; dan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional yang dipedomani sedemikian rupa sehingga gerak dan arah pembangunan tidak bias dari harapan para pendiri bangsa dan cita-cita seluruh bangsa.
J-2. Kembali ke jati diri sebagai penerus dan pewaris DNA bangsa besar yang memiliki kesadaran, dilandasi ketulusan ingin menghargai karya, menghormati pemikiran, meneladani ajaran, serta memiliki kepedulian dan komitmen tinggi untuk menjaga lestarinya warisan budaya adiluhung Nusantara.