Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jenderal Zaluzhny, Masa Depan Zelensky, dan Sikap Barat Terkait Perang Ukraina
Perpecahan terjadi antara Panglima Militer Ukraina Jenderal Valery Zaluzhny dan Presiden Volodymir Zelenksy di tengah kabar kekalahan melawan Rusia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Integritas wilayah Ukraina juga bukan prioritas bagi AS dan sekutunya. Sama seperti keinginan untuk mencaplok wilayah baru bukanlah motif utama Moskow melancarkan operasinya.
Akar konflik ini adalah ketidaksepakatan mengenai posisi Ukraina dalam sistem keamanan regional.
Rusia berupaya menghilangkan potensi ancaman dari negaranya dengan memaksa negara tersebut menerima status netral dan menyetujui pembatasan terhadap industri pertahanan dan angkatan bersenjatanya.
Bagi AS, Ukraina tetap penting untuk dipertahankan sebagai pijakan militer di Eropa timur. Karena itu walau Kiev kehilangan sebagian besar wilayahnya namun tetap bakal jadi terdepan AS dan NATO.
Washington mungkin tetap akan menerima realitas itu. Dengan kata lain, bagi AS, tak masalah berapa banyak wilayah Ukraina hilang selama Ukraina masih mampu bertahan secara ekonomi dan mengendalikan pusat-pusat politik utamanya.
Dengan mengakhiri konflik dengan syarat-syarat tersebut dalam waktu dekat, AS dapat mengurangi sementara pengeluaran dukungan militer untuk Kiev dan “membekukan” konflik.
Hal ini akan memungkinkan AS mengalihkan perhatian mereka ke krisis di tempat lain di dunia dan, yang terpenting, fokus untuk membendung ekspansi Tiongkok yang mereka takutkan.
Di masa depan, dengan masuknya Ukraina ke dalam sistem institusi barat dan di bawah kekuasaan rezim nasionalis Russofobia, Washington dapat menggunakan Ukraina kapan saja guna melawan Rusia.
Lantas apa yang diinginkan Rusia? Bagi Moskow, hasil seperti itu berarti kemungkinan besar terjadinya perang baru yang jauh lebih merusak, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Tentu saja hal ini tidak ditentukan sebelumnya. Bahkan jika kita berasumsi konflik berakhir dengan syarat yang dapat diterima oleh Washington, banyak hal yang mungkin salah.
Misalnya, AS bisa saja terjebak dalam konflik di Timur Tengah dengan Iran dan sekutunya, serta di Timur Jauh dengan Tiongkok dan Korea Utara.
Jika keadaan memburuk bagi AS di kawasan ini, mereka tidak akan pernah bisa kembali melakukan proyek pembangunan kembali dan remiliterisasi Ukraina.
Walhasil, Ukraina akan semakin terpuruk dalam status sebagai korban perang proksi AS melawan kebangkitan kekuatan Rusia.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.