Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Viktor Orban Duri dalam Daging Rencana Perang NATO Melawan Rusia
PM Hongaria Viktor Orban memperingatkan elite Uni Eropa dan NATO sedang mempersiapkan perang langsung melawan Rusia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Pada Mei dan Juni 1944, polisi Hongaria mendeportasikan hampir 440.000 orang Yahudi dalam lebih dari 145 kereta api, kebanyakan menuju kamp Auschwitz.
Akhirnya, lebih dari 533.000 orang Yahudi di Hongaria dibunuh pada masa holocaust, ditambah lagi beberapa puluh ribu orang gipsi Roma.
Setelah kekalahan Jerman Nazi, Hongaria menjadi bagian dari daerah kekuasaan Soviet dan dijadikan sebuah negara komunis setelah suatu masa demokrasi yang singkat pada 1946–1947.
Setelah pemimpin komunis 1948, Mátyás Rákosi, membentuk suatu pemerintahan Stalinis di negara itu. Ini memantik perlawanan Sebagian kelompok di Hongaria.
Revolusi Hungaria pecah 1956, dan Hongaria keluar dari Pakta Warsawa. Hal ini dijawab intervensi militer besar-besaran Uni Soviet.
Dari tahun 1960-an hingga akhir 1980-an Hongaria menikmati status khusus sebagai "barak yang paling bahagia" di lingkungan blok timur.
Perlahan perubahan terjadi di Hongaria. Pada 1989, Hongaria membuka batas wilayahnya dengan Austria, yang sebelumnya ditutup dengan Tirai Besi.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Hongaria mengembangkan ikatan yang lebih erat dengan Eropa Barat, bergabung NATO pada 1999 dan Uni Eropa pada 11 Mei 2004.
Dari peta geografis dan riwayat sejarahnya ini, alasan yang membuat Viktor Orban teguh menentang agresifitas Uni Eropa dan NATO antara lain terkait kelangsungan ekonomi Hongaria.
Sebagai negara yang terkurung daratan, Hongaria sepenuhnya tergantung pada pasokan bahan energi dari Rusia lewat jalur darat.
Ketika Uni Eropa ramai-ramai menolak impor migas Rusia, Hongaria bersama Ceko dan Slovakia menjadi pihak yang sangat tidak diuntungkan.
Hubungan Viktor Orban dengan para pemimpin Rusia sangat baik. Begitu pula hubungannya dengan China.
Hongaria bisa kolaps jika mengikuti sikap Brussel, karena sudah pasti akan sangat sulit mendapatkan pasokan baru migas selain dari Rusia.
Hongaria selama ini mendapatkan bahan migas Rusia lewat jalur pipa langsung yang melintasi Ukraina, dan sampai di kilang migas di dekat Budapest.
Mereka memperbarui kontrak pembelian migas ke Rusia di tengah peperangan Ukraina. Pilihan tidak mudah ini dijelaskan Menlu Hongaria Peter Szijjarto.
Hongaria saat ini juga tengah membangun pembangkit nuklir atas dukungan Rusia.
“Keamanan pasokan energi Hongaria memerlukan transportasi gas, minyak, dan bahan bakar nuklir yang tidak terputus. Untuk memenuhi ketiga syarat tersebut, kerja sama energi Hongaria-Rusia tidak boleh terputus. Ini tidak ada hubungannya dengan preferensi politik,” kata Szijjarto.
Ini menandai betapa hubungan Hongaria dengan Moskow jauh lebih dalam daripada semata hubungan minyak dan gas.
Perdana Menteri Viktor Orban telah berulang kali menolak seruan barat untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan Moskow.
Orban bahkan mengeca apa yang dilakukan Uni Eropa mempertontonkan kegagalan yang akut dan memalukan.
“Strategi Brussel terhadap Ukraina telah gagal secara spektakuler. Tidak hanya di medan perang yang situasinya sangat buruk, tetapi juga dalam politik internasional,” kata Orban.
“Kami telah mengatakan dengan sia-sia perang ini adalah perang persaudaraan antara dua negara Slavia (Rusia-Ukraina), dan bukan perang kami (Eropa),” kata Orban awal tahun ini.
Selain Hongaria, Serbia termasuk negara di Eropa yang juga getol mengritik agresifitas negara-negara Eropa dan NATO.
Turki, anggota NATO, juga dalam beberapa kesempatan menentang agenda militeristik NATO di Ukraina.
Namun, hanya Viktor Orban dan Peter Szijjarto dari Hongaria lah yang terang-terangan melawan campur tangan begitu dalam Uni Eropa dan NATO di Ukraina.
Viktor Orban kerap dikatai ‘duri dalam daging’ di tubuh Uni Eropa dan NATO. Dia juga dianggap ‘kerikil dalam sepatu’ barat saat perang proksi melawan Rusia.
Apa yang paling dikhawatirkan Orban adalah, permusuhan terbuka Eropa dan NATO melawan Rusia, bisa meletakkan benua itu di tepi perang nuklir.
Eropa mungkin memandang senjata nuklir adalah kekuatan penangkal atau pencegah (deterence power) perang.
Tapi tidak ada yang menjamin, nuklir tidak akan digunakan dalam perang akbar jilid tiga di Eropa.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)