Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyoal Independensi Seleksi Capim KPK
Proses seleksi Capim KPK yang selama ini berlangsung dan bagaimana cara menjamin netralitas atau independensinya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr I Wayan Sudirta, SH, MH
Anggota Komisi III DPR RI
TRIBUNNEWS.COM - Pembicaraan mengenai Program Pemberantasan Korupsi nasional, selalu menjadi topik hangat dan menjadi perhatian besar masyarakat.
Persoalan ini selalu timbul dan seolah tida pernah menemui jalan keluarnya.
Angka kasus korupsi tetap besar meski telah banyak upaya untuk meningkatkan efektivitas program pemberantasan korupsi di Indonesia.
Belakangan ini, berhembus isu yang menarik perhatian masyarakat yakni adanya anggapan bahwa proses seleksi Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK 2024 mendapat intervensi.
Isu yang beredar menerpa proses pemilihannya setelah adanya dugaan atau anggapan tentang beberapa calon yang merupakan pejabat negara mundur karena ketiadaan “rekomendasi” istana atau merasa tidak akan sanggup bersaing dengan para calon “titipan” istana (Presiden).
Meski begitu, beberapa pihak tetap positif dan mempercayai kerja Pansel bentukan Presiden tersebut, walaupun banyak juga yang meragukannya dengan menyebut Pansel seperti “tersandera”.
Namun bagaimana sebenarnya proses seleksi Capim KPK yang selama ini berlangsung dan bagaimana cara menjamin netralitas atau independensinya.
Seleksi dalam kerangka check and balances
Perlu kita pahami bersama bahwa secara filosofis, KPK merupakan aparat penegak hukum yang berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif namun menjalankan tugas penegakan hukum yang merupakan fungsi yudisial, yakni untuk menjamin supremasi hukum.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan (maachstaat).
KPK merupakan alat negara dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (seperti UU KPK dan UU Tipikor).
Peran dan fungsi KPK tentu untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan melalui berbagai tugas dan kewenangannya di bidang pemberantasan korupsi.
Baca juga: Pengumuman Capim KPK Lolos Tes Tulis 8 Agustus, Lanjut Asesmen Profil
Melalui UU, KPK dinilai juga memiliki kewenangan extra-ordinary karena juga memiliki kewenangan untuk koordinasi dan supervisi disamping memberi penguatan kepada aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan).
Seiring berjalannya waktu (dari lahirnya pada tahun 2002 hingga 2024) ini, KPK telah melalui berbagai pengalaman dalam pelaksanaan program pemberantasan korupsi.
KPK telah berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah petinggi negara, termasuk petinggi politik dan pengusaha besar.
Namun dalam perjalanannya, tidak sedikit juga KPK mengalami “pelemahan” atau perlawanan, dimulai dari kasus “suro vs boyo”, skandal etik Pimpinan KPK, hingga terakhir kasus pemerasan.
KPK juga silih berganti mengalami pasang surut, tidak hanya dari kendala dalam pengungkapan kasus korupsi, namun juga prahara internal KPK.
Semua fenomena ini kemudian memberikan citra bahwa KPK mudah dijadikan alat politisasi.
Beberapa media bahkan menyebut Presiden berupaya melakukan pelemahan terhadap KPK secara “perlahan namun pasti” karena menganggap KPK justru menjadi hambatan atau kontraproduktif dengan upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi.
Presiden bahkan diduga menggunakan kekuatan dan kekuasaan hingga berupaya melibatkan DPR untuk menampilkan legalisme otokrasi. Isu semacam ini sesungguhnya terus ada dan beredar dari dulu hingga saat ini, bahwa KPK menjadi alat politik atau kekuasaan.
Banyak pihak mempertanyakan independensi KPK dan kinerjanya. Kajian secara legal juga terjadi setelah putusan MK yang menyatakan bahwa status ketatanegaraan KPK di cabang eksekutif. Lagi-lagi publik menduga adanya intervensi untuk melemahkan KPK.
Kekuasaan Pemerintah diduga menggunakan aparat atau alat negara seperti Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk melanggengkan atau mengamankan kekuasaannya.
Menjaga Independensi Pimpinan KPK
Dalam melahirkan seorang pemimpin yang bersih dan berkualitas, diperlukan sebuah strategi yang benar dan tepat dalam upaya untuk menghadirkan seorang pimpinan yang profesional dan akuntabel.
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara atau tahapan; mulai dari proses rekrutmen, pengawasan bersama hingga evaluasi kinerja.
Selain itu kebijakan atau pengaturan dalam pelaksanaan kerja berdasarkan prinsip good governance dan jaminan untuk profesionalisme, akuntabilitas, dan integritas harus menjadi dasar sekaligus outputnya.
Maka benar tentunya dalam menghasilkan seorang pemimpin yang baik, tentu dimulai dari proses rekrutmennya.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah proses seleksi capim KPK, mulai dari jaminan independensi dan netralitas Pansel hingga proses rekrutmennya. Dalam aturannya, proses ini dilakukan berdasarkan peraturan dan pedoman untuk menjaga netralitas Pansel hingga penyerahannya pada Presiden.
Namun yang menjadi dilema ialah faktor subyektivitas dan tujuan dari proses itu sendiri. Jika kita kaji lebih dalam, faktor subyektivitas dari cara meneliti rekam jejak dan kompetensi yang kualitatif tentu akan berbeda antara seorang dengan yang lainnya.
Subyektivitas tidak dapat dihindari namun perlu untuk dibatasi. Obyektivitas dan imparsialitas yang kemudian diprioritaskan. Oleh sebab itu aturan yang ada mengatur bahwa Pansel melibatkan berbagai unsur.
Lebih jauh lagi, diskursus berlanjut pada subyektivitas Presiden dalam hal ini kekuasaan eksekutif. Tidak dapat dipungkiri bahwa seleksi ini bermuara pada kewenangan Presiden untuk mengajukan nama-nama capim KPK kepada DPR.
Untuk menghindari kesewenangan atau kekuasaan mutlak, maka dalam aturan, DPR menjadi penentu akhirnya, mengingat fungsi legislatif DPR dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Presiden akan mengajukan nama-nama tersebut pada DPR setelah mendapat rekomendasi dari Pansel.
Maka jika ada opini bahwa pansel tersandera dengan titipan istana atau dalam hal ini Presiden, fenomena ini tentu wajar dan relatif mungkin dapat terjadi mengingat penentu akhir adalah Presiden dan berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan.
KPK sendiri merupakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan “superbody” dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan pemberantasan korupsi yang sangat strategis.
KPK dan penegakan hukum pada prinsipnya memiliki celah yang dapat dijadikan alat untuk menyingkirkan lawan politik. Isu independensi dan netralitas selalu dikaitkan dengan kekuasaan dan politis.
Tidak ada jaminan, sekalipun dalam negara demokrasi seperti di Indonesia yang menganut demokrasi konstitusional dan pembagian kekuasaan, permasalahan penggunaan sistem penegakan hukum untuk pengamanan bukan hal yang tidak mungkin terjadi.
Oleh sebab itu, publik menantikan hasil dari Pansel Capim KPK, dengan harapan dapat mengawal proses pemilihan ini.
Syaratnya tentu Pansel yang dibentuk Pemerintah ini harus bekerja tanpa tekanan, memastikan tidak adanya conflict of interest, dan melakukan proses seleksi yang ketat dan terbuka.
Alhasil nantinya, publik berharap dapat menilai rekam jejak para capim KPK, kualitas, kapasitas, serta visi dan misinya.
Melihat dari pengalaman dan celah yang mungkin dapat timbul, maka publik juga sangat berharap pada DPR dalam mengawal proses rekrutmen atau seleksi ini dari pengaruh kekuasaan dan parsialitas.
Harapan publik tentu digantungkan pada DPR agar nantinya dapat bekerja secara independen dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif.
Namun sebelumnya, publik tentu berharap agar Pemerintah dapat menunjukkan profesionalitas dan transparansi dalam membuka akses publik untuk mengawal proses seleksi ini.
Pemerintah harus membuktikan bahwa kualitas capim KPK adalah para pemimpin berintegritas dan berkualitas tinggi melalui proses seleksi yang ketat, adil, terbuka, dan berkualitas.
Publik tentu menginginkan agar Pemerintah tidak lagi membuat langkah-langkah mundur yang dapat melemahkan KPK, termasuk dengan menghadirkan calon pimpinan KPK yang dapat menjaga independensi, integritas, dan profesionalitasnya.
Harap dimaklumi bahwa keraguan ini terjadi karena selama ini kinerja penegakan hukum khususnya di bidang pemberantasan korupsi, tidak terjadi peningkatan atau perbaikan. Pemerintah justru terlihat menciptakan lubang-lubang baru yang melemahkan pemberantasan korupsi seperti pengawasan dan keterbukaan.
Seperti kajian KPK terkait dengan sektor-sektor utama yang menjadi perhatian program strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi, seperti di bidang perizinan dan pengisian jabatan. Artinya korupsi justru seringkali terjadi di lingkar kekuasaan dan kewenangan yang seolah tidak terawasi dan dibatasi.
Maka dari itu, wajar jika saat ini publik merasa harus mengawal dan memberi perhatian besar kepada proses seleksi ini yang diakibatkan oleh rasa ketidakpercayaan atau keraguan terhadap keseriusan Pemerintah dalam memperbaiki sistem penegakan hukum dan peradilan, terkhusus dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Dalam hal ini, komitmen Pemerintah dalam perannya untuk melakukan pengisian jabatan di lembaga antirasuah dengan mengajukan orang yang tepat dan independen serta mampu dan teruji, akan menjadi indikator.
Pansel dan DPR nantinya diharapkan mampu melahirkan para pimpinan KPK yang mampu meningkatkan indeks persepsi program anti-korupsi dan integritas nasional melalui program nyata dan berkomitmen tinggi.
Pemimpin yang tentunya independen, adil, dan tidak jatuh dalam pusaran intervensi kekuasaan atau bukan hanya sebagai wadah bagi para job or popularity seeker, yang mudah jatuh dalam intimidasi atau iming-iming kekuasaan.
Mari kita kawal bersama independensi dan netralitas Pemerintah dan proses seleksi ini. Mari kita uji kemampuan pansel untuk menghasilkan calon pimpinan yang terbaik.