Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengapa Israel Tak Juga Balas Serang Iran?
Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu telah lantang mengancam akan menghukum Iran dengan kekuatan penuh.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Rabu, 2 Oktober 2024, mungkin bakal dicatat sebagai hari yang secara politis dan taktis, sangat-sangat buruk dan menyeramkan bagi militer Israel.
Mereka kehilangan selusin prajurit komandonya yang terperangkap jebakan Hizbullah saat menjajal masuk wilayah Lebanon Selatan.
Peristiwa ini membuktikan perang darat melawan Hizbullah Lebanon akan sangat sulit, tak seperti operasi mereka ke Gaza dan Tepi Barat.
Penyusupan komando ini membatalkan operasi darat Israel, menghentikan penerbangan helikopter di area itu mengingat Hizbullah menguasai rudal antipesawat.
Mimpi buruk perang darat Israel ke Lebanon seperti mengingatkan kisah pahit mereka saat terlibat perang 1982 dan 2006.
Baca juga: Ali Khamenei Memperingatkan Israel dalam Khutbah Jumat di Teheran, Kesabaran Iran Telah Berakhir
Baca juga: Harga Minyak Dunia Diprediksi Tembus 100 Dolar Per Barel Buntut Perang Iran VS Israel
Baca juga: AS Bombardir Yaman, Targetkan Bandara hingga Pelabuhan, Berdalih Lindungi Israel dari Houthi
Beberapa jam sebelum kehilangan selusin tentara komandonya, 200 peluru kendali balistik Republik Islam Iran dan Houthi Yaman mengguyur bak hujan ke berbagai lokasi penting di Israel.
Pemeritah dan militer Israel melakukan sensor ketat dampak serangan massal Iran itu, sehingga tidak banyak diketahui fakta kerusakan sesungguhnya.
Teheran mengklaim rudal balistik mereka, termasuk rudal hipersonik Fattah-2, menghantam markas Mossad, dinas intelijen luar negeri Israel.
Puluhan rudal lain menghajar Pangkalan Udara Nevatim di Negev, pusat skuadron tempur udara F-15 dan F-35 Adir yang dikerahkan Israel untuk mengggempur Gaza, Lebanon, Yaman, dan Suriah.
Tapi seberapa parah kehancurannya, kini mungkin tidak penting lagi. Dunia sudah menyaksikan kemampuan strategis Iran dan keberanian mereka menantang Israel dan pendukungnya.
Semua pihak sekarang sedang berhitung, kapan pembalasan Israel akan menimpa Iran? Seberapa kuat balasan itu? Apakah pembalasan itu akan menyeret Amerika Serikat, beking utama Israel?
Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu telah lantang mengancam akan menghukum Iran dengan kekuatan penuh.
Namun rapat kabinet perang Israel agaknya belum sampai pada kesimpulan mengeksekusi pembalasan itu, karena menunggu lampu hijau Washington.
Gedung Putih diyakini telah memaksa Israel menahan diri, tidak menyerang balik ke wilayah Iran, karena efeknya akan memicu perang kawasan.
Tapi Washington akan membiarkan Israel menyerang target-target terkait Iran di Yaman, Suriah, Irak, dan tentu saja Lebanon.
Sebagaimana halnya serangan bom penyeranta, walky talky, dan peranti elekronik lain ke Lebanon beberapa waktu lalu, semua dikerjakan Israel atas restu Gedung Putih.
Begitu pula eksekusi Sayyid Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Lebanon, juga dilaksanakan pasti setelah mendapat persetujuan pemimpin Amerika Serikat.
Ini jamak terjadi, sekalipun semua elemen elite negeri Paman Sam menepis keterlibatan mereka. Ini sudah rahasia umum bertahun-tahun dari kebijakan ambiguitas ala Amerika.
Gaya politik mendua terlihat saat Presiden Joe Biden memerintahkan Pentagon membantu Israel menembak rudal-rudal yang diluncurkan Iran sebelum mencapai Israel.
Teheran menyatakan, sudah memberitahu Amerika lewat saluran diplomatik perihal rencana mereka menyerang Israel, beberapa saat sebelum tombol peluncuran rudal ditekan.
Sejumlah rudal balistik Iran akhirnya rontok di wilayah Yordania, gurun Negev, dan sebagian hancur dan jatuh akibat cegatan rudal Israel, Yordania, kapal perang Inggris maupun Amerika.
Iran mengklaim 90 persen rudal mereka menghantam target. Video yang beredar menunjukkan sistem pertahanan Kubah Besi atau Iron Dome Israel kedodoran menangkis serangan Iran ini.
Lalu, apa yang akan dilakukan Amerika menghadapi Israel yang marah dan ingin membalas serangan Iran itu?
Kita bisa melihat dari apa yang terjadi di Sidang Darurat Dewan Keamanan PBB di New York Rabu malam WIB.
Pernyataan-pernyataan tajam muncul di antara diplomat AS, Rusia, Aljazair, Inggris, dan lain-lain.
Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, mengutuk serangan Iran ke Israel. Ia mengajak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan kutukan terhadap Iran.
Apa yang dilakukan Iran menurutnya aksi terorisme, bukan usaha membela diri, sehingga tidak bisa diterima untuk alasan apapun.
Linda Thomas-Greenfield mengemukakan pendirian Amerika Serikat yang membela hak Israel untuk mempertahankan diri atas serangan itu.
Ambiguitas Amerika tampak di sini, ketika Linda Thomas-Greenfield sama sekali tak menyinggung aksi-aksi pembunuhan massal yang dilakukan Israel di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Yaman, dan Suriah.
Termasuk serangan bom penyeranta dan alat elektronik lain yang menimpa ribuan warga sipil Lebanon dan Suriah.
Begitu pula pembunuhan Sayyid Hassan Nasralah, Ismail Haniyeh, tokoh-tokoh Korps Garda Republik Iran maupun pemimpin Kataib Hizbullah Irak dan lain-lain.
Ini yang dikritik Dubes Aljazair untuk PBB, yang mengatakan secara kategori aksi-aksi Israel itu sesungguhnya termasuk tindakan terorisme yang harus dikutuk.
Impunitas Israel sudah dikenal luas, karena mendapat perlindungan penuh secara politik, militer, maupun aksi-aksi diplomatik oleh Amerika Serikat.
Di Dewan Keamanan PBB tidak terhitung lagi berapa kali Amerika dan sekutu Eropanya memveto resolusi yang mengutuk aksi-aksi Israel di Palestina maupun tempat-tempat lain di negara tetangganya.
Serangan-serangan militer Israel ke wilayah Suriah, Irak, Yaman, yang merupakan pelanggaran kedaulatan negara lain selama bertahun-tahun tidak pernah terjangkau PBB.
Di Suriah, serangan jet tempur Israel bahkan pernah menghantam pesawat Rusia, yang menewaskan lusinan tentara Rusia di Laut Tengah.
Tidak ada satupun pelanggaran hukum internasional oleh Israel ini yang tersentuh hukum. Semua berlalu begitu saja membuat Israel semakin besar kepala, merasa di atas hukum.
Ini menunjukkan betapa Amerika sebenarnya sudah terlibat begitu jauh dalam peperangan tanpa akhir yang dilakukan Israel di Timur Tengah.
Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan di Gedung Putih menyatakan kapal perusak angkatan laut AS telah bergabung dengan unit pertahanan udara Israel saat Iran menyerang.
Mereka menembakkan rudal pencegat untuk menghadang serangan Iran ke Israel. Sullivan memuji militer Israel, dan juga kerja terampil militer AS mengantisipasi serangan itu.
Pernyataan Jake Sullivan inilah yang memperlihatkan Amerika telah benar-benar terlibat langsung dalam peperangan Israel melawan Iran.
Sekali lagi, inilah wujud politik ambigu Amerika yang dalam konteks Gaza, Washington semestinya bisa menggagalkan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.
Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan ada tak kurang 41.000 orang Palestina tewas kurang dari setahun di tangan pasukan Israel.
Amerika yang begitu peduli pada aksi-aksi terorisme, di saat yang sama juga tidak menganggap perlu untuk ikut campur mencegah aksi terorisme Israel ke Lebanon dan Suriah.
Banyak orang telah membunyikan peringatan Amerika dapat terseret ke dalam perang regional Timur Tengah, yang pada kenyataannya Amerika tidak benar-benar terseret ke mana pun.
Amerika sudah berada dalam posisi yang sepenuhnya dibuatnya sendiri, yang faktanya adalah Amerika sudah turut berperang di dalamnya.
Selama berdekade, Amerika adalah donatur terbesar militer Israel. Pentagon memberi keistimewaan kepada Israel, tetap menjadi kekuatan militer nomer satu di Timur Tengah.
Israel adalah supremator udara paling wahid di langit Timur Tengah dengan penguasaan satu-satunya armada jet tempur F-35 Adir yang tercanggih di dunia.
Pemerintahan Joe Biden memperbesar gelontoran dana dan suplai senjata ke Israel sejak 7 Oktober 2023. Biden sesekali berkoar-koar tentang penghentian pasokan senjata ofensif tertentu ke Israel.
Pada bulan Agustus 2024, pemerintahan Joe Biden menyetujui paket senjata senilai $20 miliar untuk Israel.
Pada tanggal 26 September 2024, Israel mengamankan paket bantuan senilai $8,7 miliar dari Washington guna mendukung perangnya melawan Hamas, serta mempertahankan keunggulan militer kualitatif di Timur Tengah.
Paket itu dikatakan mencakup $3,5 miliar untuk pengadaan penting di masa perang, dan $5,2 miliar yang ditujukan untuk sistem pertahanan udara termasuk sistem antirudal Iron Dome, David's Sling, dan sistem laser canggih.
Dengan kata lain, sokongan luar biasa Amerika ini membuat Israel semakin siap untuk bertindak atas keputusan sendiri maupun persetujuan Washington.
Israel menyatakan hanya mempertahankan dirinya terhadap tanggapan yang sah atas tindakannya sendiri, sebuah tindakan yang secara harfiah dapat dianggap sebagai terorisme.
Amerika sebenarnya selama bertahun-tahun juga melakukan pekerjaan yang sepintas legal, tapi sesungguhnya melanggar kedaulatan bangsa dan negara lain.
Penghancuran dan pendudukan Afghanistan, Irak, Suriah, intervensi militer ke Yaman, Sudan, Somalia, dan pusat-pusat konflik lain adalah agenda politik global Amerika.
Di Suriah, militer Amerika sampai hari ini masih bercokol menjaga dan menyedot minyak dari sumur-sumur besar tanpa izin pemerintah Suriah yang berdaulat.
Hipokrisi Washington ini juga tergambar di konflik Gaza. Joe Biden menyerukan gencatan senjata, tapi di saat sama menguyur Israel dana dan senjata yang digunakan untuk genosida.
Peringatan Jake Sullivan, bahwa serangan Iran akan memiliki konsekuensi serius, dan Washington akan bekerja sama dengan Israel, pada puncaknya secara tak langsung adalah deklarasi perang.
Reaksi Amerika itu disambut keputusan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz yang mempersonagratakan Sekjen PBB Antonio Gutteres.
Gutteres dilarang masuk ke wilayah Israel dan wilayah pendudukan karena dianggap orang yang tidak disukai dan tak diinginkan Israel.
Israel menilai Antonio Gutteres memihak Iran, Hamas, Houthi, dan Hizbullah dengan sikapnya yang tidak mau mengutuk apa yang menimpa Israel.
Kerumitan konflik Timur Tengah memang tiada tara. Problem di kawasan ini tidak semata urusan wilayah, tapi juga politik aliran, ekonomi, pertarungan klan, ideologi, dan pengaruh.
Berpuluh-puluh tahun masalah Palestina-Israel, Israel-Hizbullah, Hamas-Israel, Israel-Suriah, Houthi-Israel, dan Iran-Israel, tak pernah mencapai titik akhir.
Kini, turbulensi semakin kencang, yang bisa menghantarkan kawasan ini jadi medan tempur paling mematikan di planet ini.
Wakil Komandan Korps Garda Republik Iran Brigjen Ali Fadavi memperingatkan, jika Israel menyerang balik ke wilayah Iran, akan langsung dibalas seketika lebih dahsyat lagi.
Iran akan menghancurkan ladang gas, kilang minyak, dan tiga pembangkit listrik yang dimiliki Israel. Pastinya ini tidak lagi jdi retorika Teheran, dan sunguh mengerikan jika benar-benar terjadi.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)