Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gereja itu Politis: Gereja Menjadi Berkat dalam Aspek Sosial, Politik dan Kemasyarakatan
Gereja ada di dunia bukan untuk dirinya sendiri, tetapi demi kepentingan seluruh umat manusia
Editor: Eko Sutriyanto
Uskup Sugijapranoto pernah mengatakan, “Kita adalah seratus persen umat Katolik dan seratus persen warga negara Indonesia”. Seorang warga negara sama sekali tidak bisa terpisah sebagai umat beragama.
Setiap orang Katolik mesti sadar bahwa ia lebih dulu lahir dari rahim Ibu Pertiwi sebagai orang Indonesia, baru dibaptis menjadi Katolik. “Matematika iman ala Soegija” (100 +100 = 100) itu menegaskan bahwa setiap insan Katolik adalah warganegara seutuhnya, serentak warga gereja sepenuhnya. Karena itu setiap insan Katolik harus berjiwa Nasionalis dan Patriotik.
Eddy Kristiyanto, OFM seorang rohaniawan Katolik dalam tulisannya, “Sakramen Politik,” bahwa politik juga adalah “tanda dan sarana keselamatan.” Gereja Katolik harus ikut terlibat dalam politik mulai dari memberi edukasi dan menyumbang sumber daya manusia yang berintegritas dan berkualitas.
Keterlibatan ini akan menghantar umat Katolik ikut menentukan perjalanan bangsa sesuai dengan spirit empat pilar kebangsaan yaitu UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itu Gereja harus terlibat dalam kehidupan bernegara (baca sosial, politik dan kemasyarakatan) dengan mengikuti proses demokrasi yang langsung, umum, bebas dan rahasia”. Umat harus menggunakan haknya karena ini adalah panggilan moral dan spiritual namun hendaklah umat tidak terjebak atau ikut dalam politik uang yang dilakukan para calon untuk mendapatkan dukungan suara.
Dan ketika memilih, lihat dan kenalilah siapa yang mau dipilih berdasarkan track recordnya : iman, moral, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Sikap kritis dalam pemilihan akan memberikan bobot dalam demokrasi yang akan dilaksanakan. Lebih jauh ditegaskan bahwa pemilu adalah suatu perangkat demokrasi dengan demikian adalah hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan kita bersama maka kita (umat Katolik) harus mensukseskan dan ikut berpartisipasi.
Penutup
Gereja yang berakar ialah Gereja yang mendasarkan dirinya pada Kristus. Ketika Gereja sungguh menempatkan Kristus sebagai fundasi maka Gereja itu akan bertumbuh dan berbuah.
“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur,” (Kolose 2:6-7).”
Gereja Katolik harus hadir dalam setiap elemen kehidupan umat; rohani maupun jasmani. Gereja hadir dengan misinya mensejahterakan umat baik dari sisi kebutuhan rohani pun jasmani. Untuk mencapai tujuan ini Gereja Katolik, saya yakini telah menganimasi dan memberdayakan semua perangkatnya.
Kekayaan Gereja Katolik selain banyaknya ordo/tarekat/kongregasi yang berkarya, juga dengan kehadiran komisi-komisi dan ormas yang menjadi tulang punggung melaksanakan program keuskupan. Komisi sebagai perpanjangan tangan bapa uskup secara konsisten telah melaksanakan tugas dalam bingkai visi, misi dan nilai-nilai Katolik.
Kesimpulan ringkasnya Gereja Katolik dengan visi, misi dan nilainya sedang ‘menyempurnakan’ kehadirannya dengan gerakan significan ke dalam dan relevan keluar. Ke dalam Gereja harus mengedukasi seluruh umat agar sungguh merasa satu kesatuan dengan seluruh umat lintas paroki.
Seluruh umat menyadari panggilan untuk berjalan bersama membangun Gereja lokal. Keluar, Gereja hadir melalui SDM-nya menjadi garam dan terang melalui jalur sosial, politik dan kemasyarakatan. Maka, Gereja Katolik itu menjadi berkat ke dalam dan keluar (masyarakat). Semoga