Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyalahkan Apotek untuk Resistensi Antibiotik: Tuduhan Tanpa Cermin
Resistensi antibiotik menyebar dan menjadi diskursus menarik untuk diikuti sekarang ini.
Editor: Hasanudin Aco
Hasilnya? Data terbaru menunjukkan bahwa resistensi antimikroba di Belanda tetap stabil selama beberapa tahun terakhir, dengan penurunan pada beberapa jenis bakteri tertentu.
Selain itu, penggunaan antibiotik di sektor kesehatan manusia dan hewan telah menurun signifikan, misalnya penjualan antibiotik untuk hewan ternak turun lebih dari 70 persen dibandingkan tahun 2009.
Ini adalah bukti keberhasilan regulasi dan praktik yang diterapkan.
Selain itu, Belanda aktif dalam kolaborasi internasional untuk memerangi resistensi antimikroba.
Dengan pendekatan “One Health” yang mencakup sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, mereka menunjukkan bahwa keberhasilan pengendalian AMR membutuhkan upaya lintas sektor dan lintas negara.
Indonesia: Resep Wajib, Kebijakan hiasan.
Di sisi lain, mari kita lihat Indonesia. Resep antibiotik diwajibkan, tapi siapa yang peduli?.
1. Resep diwajibkan tapi nyaris tak ada resep yang masuk ke apotek-apotek komunitas, lalu dengan mudah menyalahkan Apotek bahkan mengancam menutupnya.
Apakah ada kaitan dengan Peribahasa, Buruk Muka Cermin Dibelah?
Kemudian Apotek diposisikan Bagai Pungguk Merindukan Bulan?, menunggu resep yang tak kunjung datang.
2. Antibiotik Bebas Dijual: Dimanapun yang mungkin, anda bisa memperoleh antibiotik tanpa harus berurusan dengan apoteker.
Mengapa repot ke apotek resmi kalau alternatifnya begitu banyak? Siapa yang bertanggung jawab memantau dan mengawasi jalur distribusi?
3. Apoteker, Si Pelengkap Administrasi: Apoteker Indonesia disumpah untuk profesionalisme, tetapi oleh regulasi hanya dijadikan stempel berjalan.