Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menilai posisi pemerintah Indonesia lebih kuat jika harus berhadapan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) di arbitrase internasional.
"Peluang Indonesia menang besar di arbitrase melawan PTFI," ujar politikus NasDem ini kepada Tribunnews.com, Jumat (24/2/2017).
Kurtubi menjelaskan, perjanjian Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani Pemerintah dengan PTFI menempatkan Pemerintah dalam posisi setara denga PTFI.
Dengan begitu Pemerintah harus mentaati isi KK meski di kemudian hari isi kontrak merugikan negara.
Lebih lanjut kata Kurtubi, perubahan dalam isi KK harus persetujuan kedua belah pihak.
Misalnya, terkait tarif royalti emas sejak 1967 hanya 1%. Meski Presiden Gus Dur mengeluarkan Perpres yang menaikkan royalti emas menjadi 3.7%, PTFI tidak setuju dan tetap membayar royalti emas yang hanya 1%.
Baca: Kurtubi: Sebaiknya Hindari Arbitrase untuk Selesaikan Konflik Freeport
Kurtubi melihat, ada tendensi hal seperti ini yang dipegang terus oleh PTFI, sehingga meskipun kewajiban memurnikan konsentrat tembaga diamanatkan oleh UU Minerba No.4/2009, mereka merasa diri tidak terikat. Karena hal itu tidak ada dalam KK.
Padahal, ada ketentuan Hukum Kontrak International bahwa kontrak perdata antara 2 pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara para pihak yang berkontrak.
Menurutnya, royalti yang sangat rendah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, tidak dibangunnya smelter bertentangan dengan UU Minerba yang mewajibkan adanya proses pemurnian hasil tambang di dalam negeri.
"Jadi, posisi Pemerintah Indonesia juga kuat karena adanya Resolusi Majelis Umum PBB yang menjamin kedaulatan setiap negara atas kekayaan alamnya," tegas Kurtubi.
PT Freeport Indonesia mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional karena merasa haknya dilanggar.