“Memunculkan wacana pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih akan memberikan dampak negatif."
"Seperti penurunan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, hingga menekan psikologis petani," bebernya.
Sehingga, menurutnya pemerintah harus lebih hati-hati dalam menggulirkan wacana tersebut.
"Harusnya pemerintah lebih hati-hati dalam mengulirkan wacana yang sensitif,” ujar Fathan.
Fathan juga mengatakan, skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini baru pertama kali digagas.
Hal ini lantaran sebelumnya 11 bahan kebutuhan pokok bebas pajak.
Baca juga: Bertambah Lagi, Menkeu Sri Mulyani Pajaki 8 Perusahaan Digital Ini
Bahkan, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) juga melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu, (yakni) menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat agar tidak dikenakan PPN.
“Skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini (baru) pertama kali dimunculkan."
"(Hal ini) karena di undang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak."
"Bahkan (sebelumnya) Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu, (yakni) menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat,” kata Fathan.
Fathan menjelaskan dirinya telah menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) Kententuan Umum Perpajakan (KUP).
Dalam RUU KUP tersebut, memang disebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok.
Baca juga: Misbakhun Sarankan agar Menkeu Benahi Cara Pemungutan Pajak Ketimbang Naikkan PPN
Opsi skema penetapan PPN tersebut, yakni dengan memberlakukan tiga pilihan tarif PPN.
Pilihan tarif PPN tersebut di antaranya, tarif umum dipatok 12%, tarif rendah sesuai skema multitarif 5%, dan tarif final dipatok 1%.