Pertama, Pertamina dan PLN yang merupakan BUMN energi mau tidak mau harus menanggung rugi.
Dimana 2 perusahaan pelat merah tersebut harus membeli minyak ataupun gas (impor) dengan harga tinggi, dan kemudian harus menjual ke masyarakat dengan harga seperti sekarang ini.
Pilihan kedua, Pemerintah harus menambah anggaran untuk subsidi energi di APBN, padahal di saat yang bersamaan Pemerintah tengah mendorong pemulihan ekonomi nasional imbas pandemi Covid-19.
Dan pilihan yang ketiga adalah, Pemerintah tidak mengucurkan subsidi dan membiarkan masyarakat membeli kebutuhan energinya dengan harga yang mahal.
Baca juga: Minyak Goreng Masih Langka di Pasar Tradisional, Polisi Ancam Pidanakan Distributor Nakal
“Problemnya impor BBM indonesia sangat besar 14,3 miliar dolar AS di 2021. Tahun lalu saja sudah naik 74 persen. Kalau terus berlanjut tinggal kuat-kuatan saja, apakah pertamina dan PLN mau tanggung rugi, subsidi energi APBN ditambah, atau tarif energi dilepas ke harga pasar,” jelas Bhima saat dihubungi Tribunnews belum lama ini.
“Kenaikan Rp1.000 per liter BBM non subsidi saja akan picu inflasi lebih dari 5 persen. Inflasi akan jadi musuh yang menghambat pemulihan daya beli,” paparnya.
Pertamina Lakukan Kajian dan Evaluasi Penyesuaian Harga BBM
Perusahaan minyak pelat merah yakni Pertamina terus memantau perkembangan pasar minyak dan gas (migas) dunia yang naik tajam.
Sebagai informasi, tren harga minyak mentah telah tembus 100 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.
Salah satu alasan melambungnya harga tersebut imbas pulihnya demand energi secara global serta terdampak dari meningkatnya ketegangan politik Rusia-Ukraina.
Baca juga: Sita Truk Kontainer Berisi 26 Ton Minyak Goreng Premium, Polres Jaksel Periksa 8 Saksi
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menjelaskan bahwa Pertamina terus memonitor kondisi energi global yang berpengaruh pada bisnis perusahaan.
Terkait penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) ke masyarakat, Perseroan kini tengah melakukan kajian dan evaluasi.
“Pertamina akan terus memantau perkembangan pasar migas dunia dan melakukan kajian, evaluasi serta berkoordinasi dengan seluruh stakeholder terkait dampak strategisnya,” ujar Fajriyah di Jakarta, Jumat (25/2/2022).
“Termasuk penetapan harga BBM Non Subsidi, agar tetap terjaga kondisi pasar yang seimbang serta memastikan kemampuan keuangan perusahaan dalam rangka menjamin suplai BBM kepada seluruh masyarakat sampai ke pelosok negeri,” tandasnya.