Meski, per 28 Juli GOTO merosot ke peringkat lima, disusul kembali oleh TLKM dan BMRI. Berikutnya, terjadi lonjakan pada kapitalisasi pasar PT Bayan Resources Tbk (BYAN). Per akhir 2021, market cap BYAN berkisar Rp 90 triliun, menempati posisi ke-15.
Baca juga: Delapan Sektor Kerek IHSG Naik 0,74 Persen ke 6.690
Kapitalisasi pasar emiten batubara tersebut melesat ke angka Rp 223,08 triliun dan merangsek ke rangking ketujuh. Lonjakan lainnya ditunjukkan oleh PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO).
Emiten Garibaldi "Boy" Thohir ini punya kapitalisasi pasar Rp 71,96 triliun per akhir tahun lalu. Hingga akhir Juli, kapitalisasi pasar ADRO melesat ke angka Rp 104,91 triliun.
Nasib berbeda dialami oleh saham berbasis teknologi yang tahun lalu laris diburu, seperti pada PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT DCI Indonesia Tbk (DCII). Per Desember 2021, ARTO ada di peringkat keenam dengan Rp 219,48 triliun.
Sedangkan DCII ada di posisi ke-12 dengan market cap Rp 104,82 triliun. Sampai dengan akhir Juli, rangking ARTO tergeser ke posisi 11 dengan nilai Rp 137,17 triliun. Sementara itu, DCII tergusur ke peringkat 19 dengan market cap Rp 90,52 triliun.
Dinamika pasar juga membuat emiten berkapitalisasi pasar di atas Rp 100 triliun bertambah. Dari berjumlah 13 emiten per Desember 2021, kini menjadi 16 emiten per akhir Juli.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengingatkan, perubahan market cap sangat bergantung dari optimisme para investor sehingga bisa bergerak dinamis. Sektor teknologi yang tahun lalu menjadi primadona telah bergeser ke sektor komoditas seiring lonjakan harga dan kinerja tahun lalu yang cemerlang.
Baca juga: Perkasa di Pembukaan, IHSG Sesi I Rabu Malah Turun ke 6.681, BFIN Anjlok Paling Dalam
"Kinerja yang kuat itu membuat para investor mengalihkan sebagian investasi, sehingga sektor komoditas naik, sedangkan teknologi mengalami koreksi," kata Pandhu saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (31/7/2022).
Dia pun menyoroti saham yang kapitalisasi pasarnya merosot, seperti DCII dan ARTO. Meskipun secara pertumbuhan tampak signifikan, tapi saham DCII secara valuasi sudah cukup mahal dengan price to book value (PBV) mencapai 11x.
Begitu juga dengan ARTO yang mencapai 17,5x. Hal ini dinilai berisiko jika tidak dapat menunjukkan kinerja yang kuat. Sebab, ada ekspektasi besar dari para investornya.
Di sisi lain, market cap ARTO dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang sempat jatuh, dalam beberapa hari terakhir mampu naik lagi. Market cap EMTK berhasil kembali ke atas Rp 100 triliun, setelah sempat melorot per Juni lalu. "Menunjukkan bahwa para investornya masih cukup optimistis pada prospek di masa depan," imbuh Pandhu.
Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana punya pandangan serupa. Pergerakan kapitalisasi pasar sejauh ini dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, super cycle commodity yang membuat saham sektor komoditas jadi primadona, sehingga permintaan sahamnya meningkat.
Kedua, ada sejumlah sentimen yang menekan saham berbasis teknologi seperti ketidakpastian makro ekonomi global, kenaikan inflasi dan tren lonjakan suku bunga. Alhasil, investor cenderung mengurangi porsi pembelian saham emiten teknologi.
"Ini menyebabkan penurunan market cap. Tapi ketika makro ekonomi global sudah stabil kembali, kami proyeksikan menjadi momentum turn around bagi emiten teknologi," kata Raditya.