Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febri Pangestu mengatakan, satu di antara faktor kenapa rokok masih dibeli adalah karena mudah dijangkau, termasuk oleh anak-anak.
Febri Pangestu mencontohkan, jika ada yang menyuruh anak-anak beli rokok di warung, tidak ada larangan dari penjual.
"Penegakan tentang batasan usia untuk membeli rokok itu memang kurang sekali. Terlebih bahwa memang sampai saat ini, setahu saya tidak ada peraturan menteri perdagangan yang untuk mengawasi hal tersebut," ujarnya dalam webinar "Tobacco Tax in Indonesia: Counting The Lost Rupiahs", Rabu (3/8/2022).
Baca juga: Faisal Basri: Rokok Penyumbang Terbesar Kedua Garis Kemiskinan di Indonesia
Febri menjelaskan, apabila itu diserahkan kepada Kementerian Kesehatan atau Badan POM, maka penegakan hukumnya juga tidak cukup.
"Kalau kita lihat di barang kena cukai lainnya, misalkan minuman beralkohol itu kan ada permendag-nya. Itu untuk melarang jadi lebih efektif, tetapi rokok belum ada, nah ini yang sebenarnya perlu diperhatikan," katanya.
Sementara, permasalahan lainnya sekarang adalah ketika disandingkan dengan data prevalensi merokok itu masih sangat tinggi.
Baca juga: Kebijakan Batasan Produksi Rokok Ideal Bisa Optimalkan Penerimaan Negara
"Hal ini karena memang kalau kita menghitung prevalensi itu kan menghitung orang yang merokok. Tidak menghitung apakah orang tersebut mengurangi atau tidak, artinya apabila ada dua orang sama-sama merokok 10 batang, lalu mengurangi jadi satu batang per hari, prevalensi merokoknya tidak turun meskipun secara jumlah batang rokoknya turun," pungkas Febri.