Pertama, kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli yang sekarang ini sudah turun 30 persen.
Dengan harga BBM naik, kata Said, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50 persen.
Baca juga: Perbandingan Harga BBM di Indonesia dan Luar Negeri: Termahal di Hong Kong
"Penyebab turunnya daya beli adalah peningkatan angka inflansi menjadi 6,5 persen hingga - 8 persen, sehingga harga kebutuhan pokok akan meroket," kata Said.
Di sisi lain, lanjutnya, upah buruh tidak naik dalam 3 tahun terakhir.
Bahkan Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan jika Pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021.
"Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi," tegasnya.
Alasan kedua buruh menolak kenaikan harga BBM karena dilakukan di tengah turunnya harga minyak dunia. Terkesan sekali, pemerintah hanya mencari untung di tengah kesulitan rakyat.
Baca juga: Pengamat: Penyesuaian Harga BBM Momentum Alihkan Anggaran APBN dan Maksimalkan Energi Terbarukan
Terkait dengan bantuan subsidi upah sebesar 150 ribu rupah selama 4 bulan kepada buruh, menurut Said, hal ini hanya "gula-gula saja" agar buruh tidak protes.
"Tidak mungkin uang 150 ribu akan menutupi kenaikan harga akibat inflansi yang meroket," ucapnya.
"Terlebih kenaikan ini dilakukan di tengah negara lain menurunkan harga BBM. Seperti di Malaysia, dengan Ron yang lebih tinggi dari pertalite, harganya jauh lebih murah," jelasnya.
Said juga mengkhawatirkan, dengan naiknnya harga BBM maka ongkos energi industri akan meningkat. Hal itu bisa memicu terjadinya ledakan PHK.
Oleh karena itu, Serikat Buruh akan melakukan aksi puluhan ribu buruh pada tanggal 6 September 2022.
Di Jakarta, aksi akan dipusatkan di DPR RI untuk meminta Pimpinan DPR RI memanggil Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan para menteri yang terkait dengan kebijakan perekonomian.
"Pimpinan DPR an Komisi terkait ESDM DPR RI harus berani membentuk Pansus atau Panja BBM," tuturnya.