TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selain kepada PT Freeport Indonesia, Pemerintah juga memberikan relaksasi ekspor konsentrat mineral kepada 4 badan usaha lainnya. Kelima perusahaan yang mendapat relaksasi ekspor mineral yang tersebut dinilai telah merealisasikan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan atau smelter di atas 50 persen di Indonesia.
Bersama PT Freeport, keempat perusahaan lain yang mendapat izin ekspor mineral hingga 31 Mei 2024 mendatang adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara, PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Kapuas Prima Citra dan PT Kobar Lamandau Mineral.
Freeport Indonesia dan Amman Mineral mendapat izin mengekspor konsentrat tembaga, Sebuku Lateritic Ores menjual konsentrat besi, Kapuas Prima Citra kosentrat timbal, dan Kobar Lamandau Mineral konsentrat seng.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai semestinya relaksasi ekspor konsentrat tidak dilakukan karena akan berdampak bagi program hilirisasi mineral di dalam negeri.
Menurut Singgih, langkah mengolah lebih lanjut mineral mentah di Indonesia harus didukung sepenuhnya karena berdampak positif bagi negara. Apalagi program ini telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba).
“Arah melakukan hilirisasi industri pertambangan secara masif akan meningkatkan investasi domestik dan investasi asing, dampak positif bagi tenaga kerja dan keuangan pemerintah sehingga harus lebih diperkuat,” jelasnya kepada Kontan.co.id, senin (3/7/2023).
Maka itu, menurut Singgih, pemetaan serapan produk hilirisasi oleh industri harus dijalankan serta diperkuat agar arah investasi pada program hilirisasi mineral dapat berjalan bersamaan. “Sekaligus di sisi industri pertambangan bisa memberi arah eksplorasi tambang, baik jenis mineral dan investasi eksplorasi yang harus dilakukan,” ujarnya.
Atas alasan tersebut, menurut Singgih relaksasi ekspor konsentrat mineral mestinya sebisa mungkin tidak diberikan. Dia melihat, pemberian restu konsentrat tembaga menimbulkan sisi negatif bagi industri nikel dan bauksit.
Baca juga: Relaksasi Larangan Ekspor PT Freeport Diskriminatif, Pengamat: Program Hilirisasi Porak Poranda
Namun bisa jadi, lanjutnya, kondisi ini terjadi akibat serapan pasar yang belum terbangun di dalam negeri dan proyeksi kondisi ekonomi yang melambat di 2023.
“Memang ini menjadi dilematis. Namun jalan terbaik ke depan, sebaiknya langkah paralel antara pemetaan kebutuhan industri terhadap kebutuhan hasil mineral hilirisasi, jumlah smelter yang diperlukan, arah investasi eksplorasi tambang, semestinya dapat diintegrasikan,” tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC), Harjanto Widjaja menyampaikan, kebijakan relaksasi ekspor konsentrat timbal PT Kapuas Prima Citra dan konsentrat seng PT Kobar Lamandau Mineral hingga Mei 2024 tentu memberikan dampak yang positif bagi ZINC di tahun ini.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tinjau Lagi Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral, Ini Alasannya
Pasalnya saat ini porsi penjualan ZINC didominasi dari seng (Zn) atau 46,5 persen dari penjualan per kuartal I 2023 dan hingga sekarang smelter seng masih dalam proses pembangunan. Sedangkan, smelter timbal yang notabene sudah selesai, kontribusi penjualannya hanya 15,5 persen (per kuartal I 2023) ke penjualan Perusahaan.
“Sehingga kalau kita berbicara dampak positif relaksasi ekspor ini tentu sangat positif sekali. Jadi pas begitu smelter seng kami selesai, pada 31 Mei 2024 kami bisa menjual 100 persen dari batuan yang kami kelola,” ujarnya.
Sepanjang 2023 manajemen ZINC berharap target pendapatan bisa mencapai Rp 800 miliar dengan asumsi kondisi harga komoditas seng bisa rebound ke US$ 2.800 hingga US$ 3.000 per ton dan komoditas timbal bisa bergerak di sekitar US$ 2.000 hingga US$ 2.100 per ton.
Sedangkan untuk harga besi kadar 62% diharapkan bisa di level US$ 120 hingga US$ 150 per ton.
Laporan reporter: Arfyana Citra Rahayu | Sumber: Kontan