Hal ini diperparah dengan dugaan adanya mafia tanah yang memperlambat proses pelepasan lahan dari status kawasan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).
"Masyarakat sekitar IKN ibarat penonton miskin yang menyaksikan kemegahan IKN," katanya.
Dia beranggapan, situasi tersebut berpotensi memicu konflik besar antara masyarakat dan pemerintah.
Oleh sebab itu, Piatur mendesak para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan konflik pertanahan ini dengan segera dan adil.
Dia berpendapat, teori ekologi administrasi dari Pfiffner dan Presthus dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan konflik ini.
Teori ini menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif dan regulasi yang saling terkait, termasuk kearifan lokal, dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 239/KPTS-II/1998 menjadi landasan penting dalam menyelesaikan konflik ini.
Pasal tersebut mengatur tentang pengecualian lahan milik masyarakat dari kawasan hutan.
Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) sedang berupaya menindaklanjuti pasal tersebut dengan mengeluarkan lahan masyarakat dari status kawasan.
Namun, upaya ini masih terhambat dan membutuhkan dukungan dari semua pihak.
Penyelesaian konflik pertanahan di IKN bukan hanya untuk mewujudkan hak-hak masyarakat, tetapi juga untuk mendukung program Presiden Joko Widodo dalam menurunkan gini ratio dan membangun Indonesia dari desa ke kota.
Oleh karenanya, kata Piatur, penting membuka ruang dialog dan komunikasi yang terbuka dengan masyarakat dan menghormati kearifan lokal dan hak-hak masyarakat adat.
"Termasuk nenegakkan hukum dengan tegas dan adil," imbuh Piatur.
Menurut dia, pembangunan IKN harus membawa manfaat bagi semua pihak termasuk masyarakat sekitar.