Terlebih jika menerima informasi mengenai hal-hal yang kurang nyaman untuk didengar.
Misalnya mengenai kekurangan APD, kekurangan masker, dan banyaknya jumlah kematian.
"Itu yang membuat kita stres sendiri, kalau kita tidak sanggup maka kecemasan akan datang," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan hal tersebut dipengaruhi oleh otak manusia yang terpusat di Amygdala.
Baca: Ajak Warga Kompak Hadapi Corona, Prabowo Ungkap Hubungan Baik dengan China: Kita Butuh Kesadaran
"Di otak kita, di Amygdala atau pusat rasa cemas sekaligus memori, terlalu aktif bekerja akhirnya kadang dia tidak sanggup mengatasi terlalu banyak aktivitas berlebih hingga membuat reaksi cemas."
"Reaksi cemas itu ada yang reaksinya ke kepikiran, ada juga yang ke sistem saraf pusat otonom."
"Saraf pusat otonom itu ada dua, yaitu sistem saraf pusat otonom simpatis dan parasimpatis."
"Kalau dua sistem tersebut tidak seimbang, kelebihan beban, maka timbulah gejala psikosomatik," jelas Andri yang juga member American Psychosomatic Society itu.
Gejala itulah yang membuat sebagian orang merasa sakit, seperti sesak napas, keluar keringat dingin, tidak enak badan hingga lambung tak nyaman.
Hal itu yang menjadi penyebab seseorang bisa merasakan gejala sakit akibat terlalu sering mendapat informasi soal Covid-19.
Bahkan, gejala tersebut bisa membuat seseorang ikut merasakan gejala yang mirip dengan Covid-19.
"Jadi seseorang itu merasa misalnya bangun tidur lehernya menjadi sakit."
"Batuk, pilek, merasa demam 37 derajat jadi takut karena mirip dengan Covid-19."
"Hal seperti itu terjadi kalau gejala stres terlalu banyak, akhirnya gejalanya dimirip-miripin dengan kondisi seperti Covid-19," tutur Andri.
Untuk itu, dr Andri menyarankan agar beradaptasi dengan kondisi tersebut.
"Kalau kita masih punya kemampuan untuk beradaptasi dengan stres, maka kurangilah sumber stresnya."
"Kurangi membaca dan terlibat dalam bacaan-bacaan tentang Covid-19 yang kurang nyaman," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)