Sejak WHO menetapkan varian ini menjadi Varian of Concern (VOC), beberapa negara mulai memberlakukan protokol yang ketat.
Sebagian epidemiologi menyebutkan jika varian ini perlu diwaspadai. Pertama, penyebaran yang cepat dan sudah ditemukan di berbagai dunia.
Kedua adanya kemungkinan infeksi ulang. Dan ketiga, serangan pada sistem imun.
Menurut Ahli Epidemiologi Indonesia dan Peneliti Pandemi dari Griffith University, Dicky Budiman, memang ada beberapa faktor yang memicu munculnya varian super ini.
Pertama adanya ketimpangan vaksin pada suatu negara. Namun menurut Dicky tidak hanya itu, ada faktor lainnya.
"Iya karena jelas karena ketimpangan vaksin, menjdi penyebab. Tapi bicara penyebab dari satu varian super ini timbul multifaktor. Bukan hanya vaksin tidak merata di dunia," ungkapnya pada Tribunnews, Selasa (30/11/2021).
Kedua, karena kurang baiknya suatu negara dalam mendeteksi virus. Baik itu testing, treacing dan treatment (3T) dan juga survelen genomic.
"Melalui 3T terutama survelen genomic tidak merata dan kuat di banyak negara, seperti Afrika, akhirnya menghasilkan varian ini," ungkapnya.
Namun bukan hanya Afrika saja. Belahan dunia manapun ketika kemampuan 3T survelen genomic lemah, ditambah vaksinasi yang lambat, rawan melahirkan mutasi Covid-19 yang berbahaya.
"Ditambah jumlah penderita HIV-AIDS termasuk kategori banyak. Pada konteks ini, ketika terinfeksi itu umumnya lama untuk mengalami pemulihan. Dan semakin lama virus dalam tubuh manusia, semakin banyak peluang bermutasi,"pungkasnya.
(Tribunnews.com/Rina Ayu/Aisyah Nursyamsi)