Saat ini ribuan pasukan TNI berada di daerah perbatasan Kalimantan - Filipina untuk penetrasi militer jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Sebagaimana diketahui, jumlah ABK yang disandera milisi Abu Sayyaf bertambah dari 10 orang menjadi 14 orang. ABK disandera saat kapal mereka melintasi wilayah laut Filipina.
Terpisah, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Sutiyoso mengaku, belum mendapat informasi tentang WNI yang diculik di area perairan perbatasan Filipina-Malaysia, Jumat 15 April 2016 lalu.
"Yang empat orang itu kami belum tahu," ujar Sutiyoso.
Sutiyoso mengatakan, kelompok penyandera hingga saat ini belum membuka komunikasi dengan perusahaan pemilik kapal, tempat keempat WNI itu bekerja.
Sutiyoso memprediksi posisi keempat WNI itu tidak dijadikan satu dengan sepuluh WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf sebelumnya. Sebab, sepuluh WNI itu aktif berkomunikasi dengan perusahaannya.
"Karena kalau mereka jadi satu grup dengan yang 10, kami pasti tahu. Atau bisa juga empat ini berada di lokasi sama, tapi dipisah. Intinya kami belum berhasil berkomunikasi," ujar dia.
Hingga kini, pemerintah pun masih menunggu pihak penyandera membuka komunikasinya.
Keempat WNI yang diculik itu adalah ABK dari dua kapal berbendera Indoonesia, yakni Kapal Tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Cristi. Total, ada 10 ABK di kedua kapal.
Namun saat peristiwa pembajakan terjadi, hanya empat WNI yang diculik.
Peristiwa ini menambah panjang deretan WNI yang disandera. Sebab, sejak 26 Maret 2016, 10 awak kapal pandu Brahma 12 beserta muatan batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, disandera kelompok teroris Abu Sayyaf.
Para awak kapal dan seluruh muatan batubara dibawa penyandera ke tempat persembunyian mereka di salah satu pulau di sekitar Kepulauan Sulu.
Tak hanya itu, Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso (sekitar Rp 14,3 miliar) untuk pembebasan 10 sandera.
Hingga kini, upaya pembebasan sandera belum membuahkan hasil. (tribunnews/uth/kps)