TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tragedi penembakan brutal di Christchurch, Selandia Baru masih membekas di ingatan Moustofa Ghoneimy.
Ia ingat betul ketika terperangkap di antara tumpukan tubuh di dalam Masjid Al Noor.
Baca: Media Selandia Baru Bakal Siarkan Azan untuk Hormati Korban Aksi Teror di Masjid Christchurch
Shalat Jumat baru dimulai sekitar tiga menit di masjid kawasan Christchurch, Selandia Baru, pada pekan lalu 915/3/2019) ketika dia pertama mendengar "letusan".
"Negara ini (Selandia Baru) adalah tempat yang aman sehingga kami tidak berpikir bakal terjadi sesuatu yang mengerikan," ujar Ghoneimy.
Awalnya dia mendengar dua "letusan". Setelah mengerti itu adalah penembakan karena bau mesiu tercium, dia dan jemaah lainnya berusaha untuk melarikan diri.
Dilansir NZ Herald Kamis (21/3/2019), Ghoneimy menceritakan dia bersama jemaah lainnya berusaha untuk membuka pintu, namun macet.
Ketika akhirnya, kata Ghoneimy, kaca yang ada di dekatnya pecah. Dia berusaha untuk berjongkok menyelamatkan diri.
Namun kakinya tersangkut. Terjepitnya kaki itu berasal dari tubuh seorang jemaah. Pada saat itu, penembakan yang dilakukan teroris bernama Brenton Tarrant itu semakin dekat.
Pria yang baru pindah selama tiga tahun dari Mesir itu mengisahkan sebagian tubuhnya sudah berada dia luar.
Namun dia merasa peluangnya untuk hidup kecil. Apalagi bau mesiu yang semakin pekat memenuhi udara dalam masjid.
"Saat itu, saya hanya menunggu teroris itu menembak kepala atau jantung saya," katanya.
"Namun, persayaan saya juga mengatakan saya bakal hidup," lanjutnya.
Perasaannya benar. Dia pun mendapatkan celah untuk menyelamatkan diri memanfaatkan jendela yang pecah.
Dia teringat kepada istri dan anak-anaknya karena sebelum penembakan terjadi, mereka sempat berdiskusi pergi ke masjid bersama untuk shalat.