News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Pasien Tewas Virus Corona Alami Kemiripan dengan SARS, Obat Rekomendasi WHO Dipertimbangkan

Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang paramedis laboratorium menguji sampel virus di Laboratorium Hengyang, Provinsi Henan pusat Kota Cina. Rabu (19/02/2020). Data terakhir tercatat korban tewas akibat epidemi virus coronavirus COVID-19 melonjak menjadi 2.112 dan pada Kamis (20/02/2020) ada 108 orang lagi meninggal di Provinsi Hubei, Kota pusat penyebaran yang paling parah dari wabah Corona tersebut. (STR/AFP)/China OUT

TRIBUNNEWS.COM - Terdapat kabar terbaru terkait dengan virus corona yang telah menyebar di seluruh dunia.

Terhitung hingga Jumat (21/2/2020) pagi hari ini, virus corona telah menginfeksi 76.242 orang dan membunuh 2.124 pasien.

Selain itu, terdapat juga pasien yang sembuh dari virus corona, berjumlah 14.558 orang.

Terbaru, para peneliti di China yang terlibat dalam studi medis baru berdasarkan autopsi salah satu korban virus corona menyatakan, virus corona menyerang tubuh dengan cara yang mirip dengan SARS atau MERS.

Baca: 7 Negara Ini Telah Melaporkan Kasus Kematian Warganya Akibat Virus Corona

Baca: 1.000 Lebih Siswa Pakistan Ada di Pusat Virus Corona China, Pemerintah Putuskan Tak Evakuasi

Laporan yang diterbitkan minggu ini dalam jurnal The Lancet oleh para ahli menyebutkan, mereka telah memperoleh sampel biopsi dari autopsi seorang pria berusia 50 tahun yang meninggal pada akhir Januari lalu.

Dikutip dari SCMP, sebuah tinjauan terhadap paru-paru pasien, jaringan hati dan jantung menunjukkan "fitur patologis Covid-19 sangat mirip dengan yang terlihat pada infeksi saluran pernapasan akut (SARS) dan sindrom pernapasan Timur (MERS)," kata para penulis.

Wabah SARS pada tahun 2002-2003, yang berasal dari China Selatan, menewaskan lebih dari 800 orang di lebih dari dua lusin negara.

Sementara pada tahun 2012, MERS pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi, menyebabkan 860 kematian secara global.

Pria yang ditampilkan dalam penilitian di Beijing, yang menunjukkan gejala pada awal 14 Januari dan meninggal dua kemudian, ditemukan memiliki kerusakan pada alveoli di keuda paru-parunya.

Baca: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terganggu Virus Corona

Baca: Empat WNI Positif Corona Dalam Perawatan Tim Medis Jepang

Selain itu, terdapat cedera pada hatinya yang mungkin disebabkan oleh infeksi virus corona, atau dengan obat yang digunakan untuk mengobatinya.

Ada kerusakan yang kurang substansial pada jaringan jantung, menunjukkan bahwa infeksi "mungkin tidak secara langsung merusak jantung", tulis laporan tersebut.

Seorang paramedis Laboratorium memegang sampel virus di laboratorium Hengyang, Provinsi Henan, China, Rabu (19/02/2020). Data terakhir tercatat korban tewas akibat epidemi virus coronavirus COVID-19 melonjak menjadi 2.112 dan pada Kamis (20/02/2020) ada 108 orang lagi meninggal di Provinsi Hubei, Kota pusat penyebaran yang paling parah dari wabah Corona tersebut. (STR/AFP)/China OUT (AFP/STR)

Para peneliti mengatakan bahwa pengobatan korikosteroid - penggunaan obat antiinflamasi yang direkomendasikan WHO - harus dipertimbangkan dengan dukungan ventilator untuk pasien virus corona dalam kondisi parah.

Wang Fu-sheng dan Zhao Jingmin, dua rekan penulis, tidak menanggapi permintaan komentar lebih lanjut.

Baca: UPDATE Pasien Virus Corona per Jumat 21 Februari 2020: 75.715 Terinfeksi, 2.124 Meninggal Dunia

Baca: Petugas Medis yang Menangani Wabah Virus Corona di Kapal Pesiar Diamond Princess Jepang Kelelahan

Mereka mencatat dalam penilitian ini bahwa tidak ada patologi yang dilaporkan sebelumnya untuk kasus Covid-19 "karena autopsi atau biopsi yang sulit diakses".

Sebuah studi terpisah yang diterbitkan The Lancet oleh para spesialis dari University of Edinburgh pada 7 Februari berpendapat bahwa, meskipun kortikosteroid - suatu kelas hormon steroid - banyak digunakan selama wabah SARS dan MERS.

Hal itu telah dicoba pada pasien virus corona, studi pengamatan menyarankan penggunaannya untuk mengurangi peradangan dapat menyebabkan komplikasi termasuk diabetes, kematian jaringan tulang dan penundaan penghapusan virus.

"Dalam tinjauan pengobatan untuk sindrom gangguan pernapasan akut dari penyebab apa pun, berdasarkan enam studi dengan total 574 pasien, 19 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan pengobatan kortikosteroid," kata studi tersebut.

Baca: 5 Pulau Paling Berbahaya di Dunia, Waspada Virus Anthrax di Pulau Gruinard

Baca: Viral Video Seorang Warga Menolong Anjing yang Ditelantarkan Pemiliknya Karena Terinveksi Corona

Lima ilmuwan China yang dipimpin oleh Lianhan Shang dari Universitas Pengobatan China Beijing, menerbitkan tanggapan terhadap penelitian yang mendorong penggunaan kortikosteroid dalam kasus-kasus tertentu.

Tanggapan mengakui risiko dalam menggunakan kortikosteroid dosis tinggi terhadap virus corona, termasuk potensi infeksi lainnya, tetapi mengatakan itu mungkin dibenarkan untuk pasien yang sakit kritis dengan peradangan yang signifikan di paru-paru.

"Perawatan kortikosteroid adalah pedang bermata dua," tulis mereka.

"Sejalan dengan konsensus para ahli, kami menentang penggunaan kortikosteroid secara liberal dan merekomendasikan kortikosteroid jangka pendek dengan dosis rendah hingga sedang, digunakan dengan hati-hati, untuk pasien (virus corona) yang sakit parah," tambahnya.

(Tribunnews.com/Whiesa)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini