Ia mengumumkan hal itu dalam sebuah postingan pada Kamis kemarin bahwa akun Trump akan tetap diblokir, setidaknya hingga dua pekan ke depan.
Menurutnya, Trump bisa saja sengaja menggunakan Facebook untuk menghasut pemberontakan dengan aksi kekerasan terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Sebelumnya, raksasa media sosial itu telah menghapus atau memberi label pada beberapa postingan Trump hari Rabu lalu, saat para pendukungnya mulai menyerbu Capitol Hill.
Facebook menyebut postingan Trump sebagai hasutan untuk melakukan tindakan kekerasan.
Bagaimana ke depannya?
Sampai 20 Januari Trump masih memegang semua kendali di AS, mulai dari kode rudal nuklir hingga tombol merah di meja Oval Office untuk memanggil kepala pelayan membawakan Diet Coke kesayangannya.
Dalam dua minggu ke depan, sebagaimana dianalisis AFP, kekacauan demi kekacauan masih berpeluang terjadi.
Seperti yang sudah digembar-gemborkan Trump sejak kalah pemilu AS pada November lalu, dia tidak benar-benar percaya harus angkat kaki dari Gedung Putih.
Lalu, jika memang dia harus lengser, Trump kerap "mengancam" akan balas dendam pada pilpres Amerika Serikat 2024.
Potensi Trump 2.0 ini membuat capres lain dari Partai Republik jadi khawatir karena pebisnis yang pernah main film Home Alone itu pastinya akan jadi yang terdepan.
Padahal, senjata-senjata politik yang dilancarkannya akhir-akhir ini berbalik menyerangnya sendiri.
Terlepas dari kerusuhan Capitol Hill, ada fakta memalukan lainnya bahwa Trump gagal mencegah dua calon Senat Republik kalah di Georgia, sehingga harus merelakan kendali Kongres jatuh ke tangan Demokrat.
Namun, dalam mentalitas Trump yang berapi-api, itu bukan akhir segalanya.
"Ini bukan lagi Partai Republik mereka. Ini adalah Partai Republik Donald Trump," kata putranya, Donald Trump Jr, kepada massa pro-Trump yang berunjuk rasa.
Menurut survei Axios-SurveyMonkey pekan ini, 62 orang Republik masih tidak terima Biden menang pada pemilu Amerika Serikat.
Sumber: Kompas.com/Tribunnews.com