Namun, rumah itu berubah menjadi lubang yang dipenuhi puing-puing yang pecah.
"Setelah saya menemukan rumah saya hancur total," ucapnya.
Ia lantas menyewa sebuah apartemen dengan harga $200 untuk ia tinggali bersama keluarganya, istri dan enam orang anaknya.
Apartemen itu hanya memiliki dua kamar tidur, satu baginya dan sang istri dan yang lainnya untuk semua anaknya.
Rumah Al-Masri sebelumnya dirobohkan dalam perang 2014 ketika pasukan Israel menyerbu wilayah paling utara Gaza, secara acak menembaki daerah itu dan menyebabkan 140.000 rumah hancur.
Setelah tiga tahun, Al-Masri mulai membangun rumahnya, lalu pindah bersama keluarganya pada 2017.
"Apakah rumah saya, yang hancur lagi ini, membutuhkan waktu tiga tahun untuk dibangun kembali? Apakah saya akan menjadi tunawisma sampai tahun 2024?"
Al-Masri mengatakan ia takut kembali ke "karavan", gubuk logam kecil tersebar luas di daerah yang rusak, di mana ia tinggal dalam tiga tahun sebelum rumahnya dibangun kembali.
Ia tidak mampu membayar sewa yang mahal sebagai penjual sayur dengan pendapatan yang hampir tidak cukup untuk menghidupi keluarganya di waktu normal.
"Tinggal di karavan di musim panas tidak tertahankan (karena panas)," katanya, seraya menambahkan ia berharap komunitas internasional membantu ia dan tunawisma Palestina lainnya untuk membangun kembali sesegera mungkin.
Baca juga: Peringatan Israel pada Dunia soal Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi, Sebut sebagai Penjagal Teheran
Tunawisma untuk keempat kalinya
Penghancuran rumah selama serangan terakhir menyakitkan bagi warga Palestina.
Pada Mei, setidaknya 256 orang, termasuk 66 anak-anak dan 40 wanita, tewas dalam serangan udara dan tembakan artileri Israel.
Hampir 2.000 lainnya terluka, termasuk 600 anak-anak dan 400 wanita, menurut laporan PBB tentang serangan baru-baru ini di Gaza.