Tinggal di dekat garis demarkasi dengan Israel memiliki konsekuensi yang mengerikan.
Mithqal al-Sirsawy (40) membangun rumahnya di tanahnya berukuran 700 meter.
Rumahnya telah dihancurkan empat kali selama 12 tahun terakhir, dimulai dengan perang 2008.
"Rumah saya menjadi sasaran baik oleh tank Israel atau jet mereka dalam semua perang, pada 2008, 2012, 2014 dan yang terakhir, yang terjadi beberapa minggu lalu," katanya.
"Berapa lama saya harus menderita situasi ini?"
Seperti setiap serangan Israel di Gaza, al-Sirsawy tidak punya tempat lain untuk berlindung kecuali sekolah-sekolah yang dioperasikan oleh PBB.
"Tinggal di sekolah tidak bisa ditoleransi karena ruang kelas penuh sesak dengan orang," ungkapnya.
"Lebih dari dua keluarga tinggal dalam satu kelas. Dan yang paling sulit adalah sekolah-sekolah ini kekurangan akses air bersih," katanya.
Al-Sirsawy membutuhkan hampir $50.000 untuk merekonstruksi rumahnya. jumlah yang mustahil bagi seorang penjual rempah-rempah yang berpenghasilan sekitar $300 sebulan.
"Setiap habis perang, saya mendapat bantuan dan tidak cukup untuk dapat membangun kembali rumah. Bantuan itu hanya setara sepertiga dari jumlah yang saya butuhkan," katanya.
"Hidup saya menjadi seperti neraka dan keluarga saya tidak merasa aman di rumah sejak perang 2008," katanya.
"Kapan perang di Gaza akan berhenti sehingga saya bisa hidup aman bersama keluarga saya di rumah kami?"
"Saya pikir tidak ada gunanya membangun kembali rumah karena semua yang kami bangun di sini dihancurkan selama perang berlanjut."
Baca juga: Israel Sebut Ebrahim Raisi Ekstremis, Yakin Presiden Baru Iran Itu akan Tingkatkan Program Nuklir
Baca juga: Analisis Pengamat soal Israel Tuding Indonesia, Malaysia, dan Brunei Bohong Terkait Serangan Gaza
Cicilan Apartement Masih Berlanjut