Alaa Shamaly, jurnalis foto berusia 36 tahun, punya cerita berbeda.
Rumah keduanya hancur dalam perang ini, padahal ia memilih sebuah apartemen di tempat yang menurutnya merupakan tempat teraman di Gaza.
Pengalaman Shamaly dalam perang 2014 membuatnya meninggalkan lingkungan al-Shujayea, mengingat itu salah satu daerah paling berbahaya ketika Israel menyerang Gaza karena kedekatannya dengan zona penyangga.
"Dalam salah satu dari 50 hari perang 2014, jet dan tank Israel mengebom lingkungan kami secara besar-besaran dan acak," kenang Shamaly.
"Di bawah pengeboman gila di segala arah, keluarga saya dan saya keluar dari rumah kami, melarikan diri ke barat.
"Banyak rumah hancur karena penghuninya, dan banyak lainnya dibunuh ketika mencoba melarikan diri. Kami berjalan di atas orang mati mencoba untuk bertahan hidup."
Setelah serangan Israel itu, Shamaly mencari tempat baru untuk keluarganya, termasuk istri dan lima anaknya.
Mereka membeli sebuah apartemen di gedung enam lantai Anas Bin Malek di jantung Gaza, berharap itu akan menjadi salah satu tempat teraman dari serangan Israel lebih lanjut.
Tapi ini terbukti tidak benar selama serangan Mei.
"Pendudukan Israel menyerang pusat Gaza, menghancurkan tujuh menara perumahan besar, membuat ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal, dan melakukan pembantaian paling brutal di Jalan al-Wehda, di mana lebih dari 40 orang dibunuh," katanya.
Pada 16 Mei, gedung Anas Bin Malek diratakan dengan tanah, membuat Shamaly putus asa setelah menjadi tunawisma untuk kedua kalinya.
"Menurut saya yang paling sulit adalah terus membayar cicilan apartemen selama dua tahun ke depan," katanya, mencatat banknya secara otomatis mengambil $200 setiap bulan dari rekening.
Setelah kehancuran apartemennya, Shamaly sekarang tinggal bersama keluarga besarnya di al-Shujayea, menghadapi masa depan yang tidak pasti.
"Saya tidak akan bisa membeli apartemen baru sampai cicilan selesai," katanya.
Berita lain terkait Israel Serang Jalur Gaza
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)