TRIBUNNEWS.COM - Protes terhadap pemerintah militer atau junta Myanmar pecah di seluruh negara pada Minggu (8/8/2021).
Aksi demonstrasi itu digelar untuk menyerukan penolakan terhadap junta sekaligus memperingati pemberontakan 8-8-88 pada 8 Agustus 1988.
Pemberontakan 1988 pada saat itu merupakan tantangan terbesar bagi pemerintahan militer yang telah berlangsung sejak 1962.
Dikutip dari CNA, pemberontakan yang juga dikenal sebagai unjuk rasa Prodemokrasi Populer Nasional 8888 itu, menewaskan sekira 3.000 orang.
Ribuan kematian tersebut dikaitkan dengan tindak kekerasan yang dilakukan rezim militer, yang kemudian melakukan kudeta pada 18 September 1988.
Baca juga: AS Bongkar Rencana Pembunuhan Dubes Myanmar untuk PBB yang Anti-Junta, Dua Orang Ditangkap
Baca juga: RI Dorong Utusan Khusus ASEAN Segera Lakukan Kunjungan ke Myanmar
Setidaknya enam protes terpisah didokumentasikan di halaman Facebook penentang militer untuk memperingati kudeta berdarah itu.
"Utang lama dari 88, kita harus mendapatkan semuanya dalam 21 (2021) ini," teriak pengunjuk rasa di kotapraja Wundwin di wilayah Mandalay, yang direkam di video Facebook.
Aksi demonstrasi lain di kotapraja Myaing menampilkan plakat bertuliskan: "Mari kita berjuang bersama menuju pembebasan 8.8.88 orang yang belum selesai."
Seorang juru bicara junta tidak dapat dihubungi pada hari Minggu untuk mengomentari aksi tersebut.
Adapun pada hari Minggu, Min Aung Hlaing, jenderal paling senior militer yang menjabat sebagai perdana menteri sementara seminggu yang lalu, merilis sebuah pernyataan.
Min Aung Hlaing memberikan ucapan terkait berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 54 tahun yang lalu.
Pernyataan itu tidak menyebutkan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar yang ditunjuk oleh blok regional 10 anggota dalam beberapa hari terakhir, yang telah ditugaskan untuk mengakhiri kekerasan pasca-kudeta dan mendorong pembicaraan antara militer dan lawan-lawannya.
Utusan baru, diplomat Brunei Erywan Yusof, mengatakan pada hari Sabtu bahwa dia harus diberikan akses penuh ke semua pihak ketika dia mengunjungi Myanmar, sebuah perjalanan yang belum dijadwalkan.
Untuk diketahui, militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih enam bulan lalu dan menahan pemimpinnya, peraih Nobel Aung San Suu Kyi, dan beberapa pejabat penting lainnya.
Baca juga: Duta Besar Myanmar untuk PBB Dipecat hingga Dapat Beberapa Ancaman dari Junta
Baca juga: Menlu Brunei Erywan Yusof Dipilih sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Bantu Akhiri Krisis di Myanmar
Kudeta 1 Februari 2021 mengakhiri eksperimen singkat selama satu dekade dalam demokrasi di negara Asia Tenggara berpenduduk 53 juta jiwa itu.
Min Aung Hlaing mengatakan pihaknya bertindak sesuai dengan konstitusi untuk menghapus pemerintahan Aung San Suu Kyi yang menurutnya telah melakukan kecurangan dalam Pemilu 2020.
Meski demikian, komisi pemilihan mengatakan hasil pemungutan suara itu adil.
Baca berita lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)